Senin, 14 Maret 2016

Tragedi Cinta Raden Pabelan


Cinta boleh tak mengenal tembok keraton. Tapi cinta yang disemai dengan gegabah oleh Pangeran Pabelan telah membuat dirinya terbentur pada tembok nasibnya yang paling nahas. Pangeran ini dihukum mati oleh raja, bukan saja karena keberaniannya mencintai putri Sekar Sedaton, tetapi juga karena ia nekad menerobos tembok keputren dan bersembunyi selama seminggu di kamar kekasihnya itu...
Bangsal Kasultanan Pajang, tahun 1582. Pemuda gagah itu berdiri dengan kepala tegak, menatap dengan segenap amarah kepada Sultan Hadiwijaya. Empat prajurit kerajaan menarik dan mencengkeram kedua tangan si pemuda ke belakang punggungnya. Pangeran Pabelan, pemuda gagah dan tampan itu, tahu kalau hidupnya akan segera berakhir di tangan junjungannya sendiri, Sultan Pajang.Tapi ia tal menyesal. Sebab apa yang dilakukan dan kemudian dianggap terlarang, baginya, bukan suatu kesalahan. Mencintai seorang putri raja, Sekar Kedaton, bisakah dianggap sebuah kesalahan? Bukankah ia tak pernah memaksa sang putri untuk mencintainya? Bukankah sang putri juga menyambut dengan suka cita dan rasa bahagia benang asmara yang ia getarkan? Mengapa harus dihukum, digelandang, diseret - seret seperti begal.
Senja turun di Pajang, Pabelan tahu riwayatnya akan segera tamat. Ia tahu, seribu macam pembelaan tak akan menghentikan amarah sang raja. Karena itu, sebelum aneka senjata, keris, pedang dan tombak menghujam dan merejam dadanya, Pabelan tak ingin menunjukan kegentarannya. lalau pun ia harus mati, ia tak ingin mati sebagai pecundang. Ia ingin mati dengan segenap perlawanan, meski hanya kata-kata. Meski ia tahu, semua itu akan sia-sia belaka. Pabelan, putra Tumenggung Mayang, tak menggeserkan menggeserkan tatapannya ke raja, bahkan berkata lantang. "Kini tertawalah sepuas-puasnya. Aku, Pabelan, mungkin akan segera mati. Tapi ketahuilah, aku akan selalu hidup, hingga kelak, kau pun akan tersungkur. Ingatlah, apa yang kau lakukan hari ini adalah karmamu di masa mendatang!" teriaknya. Sultan Pajang tak bergeming. Tatapannya lurus ke Pabelan. Ia seperti membuat keponakan Sutawijaya terus meracau. "Hujamkan kerismu ke jantungku Kanjeng Sultan, lalu tepuklah dadamu. Tapi jangan pernah sekalipun kau ciderai Sekar Kedaton. Sebab Perempuan Agung itu tak salah apa-apa. sebagai raja agung Kanjeng Sultan mestinya tahu, tak ada yang salah dengan asmara. Apa karena aku hanyalah seorang putra tumenggung, sehingga Kanjeng sultan tak merelakan putrimu untukku?" Bangsal seperti bergetar. Tapi Hadiwijaya segera mengakhiri fragmen di bangsal Pajang itu. Keris di tangannya secepat kilat menghujam ke dada Pabelan. Detik itu pabelan yang masih terhitung keponakan Sutawijaya, penguasa mataram, itu tewas. Tak cukup dengan menghukum mati Pabelan, Hadiwijaya juga membuang Tumenggung Mayang, ayah Pabelan, ke Semarang.
SUMPAH SANG PENAKLUK WANITA
Itulah sepenggal tragedi asmara yang mewarnai kesultanan Pajang. Agaknya, setiap zaman memang menyipan tragedi cintanya sendiri. Meski tak menggema seperti kisah cinta Ki Ageng Mangir dan Pembayun pada zaman Panembahan Senopati memerintah Mataram, namun kisah cinta antara Pangeran Pabelan dan Sekar Kedaton pada masa kesuktanan Pajang ini, tetap hidup. Konon tragedi cinta inilah yang kelak kelak memicu kemarahan Sutawijaya -- karena Pabelan dihukum mati, dan Tumenggung Mayang dibuang ke Semarang -- untuk memerangi Mataram. Tapi siapa sebenarnya Pabelan?
Sejarah memang tak mencatat riwayat pangeran ini secara lengkap. Sejarah hanya mengingat pangeran tampan yang konon playboy ini sebagai putra Mayang, seorang Tumenggung di wilayah kesultanan Pajang. Tumenggung Mayang sendiri adalah ipar dari Sutawijaya, penguasa perdikan Mataram. Konon, ketampanan Pangeran Pabelan memang hampir tak tertandingi oleh para pemuda dan pangeran pada zamannya. Ditambah perawakan yang tinggi besar, Pabelan menjadi magnet bagi perempuan-perempuan Pajang. Sayangnya, Pabelan sangat menyadari kelebihannya ini. Dengan ketampanan dan darah ningratnya, Pabelan mempunyai kegemaran memikat para perempuan, baik para gadis dan perawan maupun para perempuan yang sudah bersuami. Tak hanya perempuan biasa, tapi juga perempuan-perempuan keraton. Dan salah satunya adalah Sekar Kedaton, putri dalem Sultan Hadiwijaya sendiri.
Di depan ayahandanya, Tumenggung Mayang, Pabelan memang pernah bersumpah tak akan mengakhiri petualangannya. Sebelum bisa menaklukan hati Sekar Kedaton. Mendengar sumpah ini, Tumenggung Mayang sempat murka. Ia bahkan sempat mengusir Pabelan dan tak mengakui sebagai anak. "Belajarlah melihat dirimu sendiri, Pabelan. Kita ini siapa jika dibandingkan dengan Kanjeng Sultan?". Kata Tumenggung Mayang menasehati putranya. "Ini soal perasaan, Romo, bukan pangkat atau derajat. Tak bolehkah aku menyandingi Sekar Kedaton, kalau sang putri sendiri juga menghendaki?" sanggahnya.
Pabelan tak salah. Dari beberapa kali pertemuan, Sekar Kedaton memang seperti menyambut getar asmara Pabelan. Suatu kali, dengan sembunyi-sembunyi, Pabelan bahkan pernah mengedipkan mata ke arah sang putri, hingga perempuan agung keraton itu merona wajahnya. Tumenggung pun tahu itu. Tapi mencintai Sekar Kedaton apa bukan berarti menggoreskan malapetaka? Dan inilah rupanya awal malapetaka itu. Begitu berhasil masuk keputren, Pabelan tak keluar-keluar lagi. Pabelan menyusup ke kamar pribadi sang putri sampai berhari-hari. Dan petaka itu datang ketika para pengawal kerajaan menemukannya setelah genap sepekan sang pangeran mereguk asmara bersama sang putri. Sultan Hadiwijaya yang mendengar kabar ini marah besar. Pabelan diseret ke bangsal keraton. Tumenggung Mayang tak ketinggalan. Sebab, si ayah diduga ikut membantu menyusupkan Pabelan ke keputren. Saat menghadap, Tumenggung Mayang pasrah menerima hukuman atas perbuatan anaknya. Sultan Pajang memrintahkan agar Raden Pabelan dihukum mati dengan dirajam berbagai macam bentuk senjata yang terbuat dari besi. Selanjutnya, mayatnya dibuang di Sungai Laweyan, (sungai Braja). Pembuangan mayat Pabelan inilah kelak yang menjadi awal berdirinya kota Solo.
Setelah terbawa arus bengawan, mayat Pabelan menyangkut di pepohonan, kemudian ditwmukan Kyai Sala. Mayat kemudian didorong ke tengah sungai, agar hanyut ke hilir. Memang benar, mayat itu hanyut dibawa arus air sungai Braja. Namun, pagi hari berikutnya, Kyai Gede Sala heran karena kembali menemukan mayat Pabelan tetap di tempat semula. Sekali lagi mayat dihanyutkan ke sungai. Namun lagi-lagi, pagi berikutnaya, peristiwa sebelumnya terulang lagi. Mayat itu kembali ke tempat semula. Kyai Gede Sala akhirnya maneges, minta petunjuk Tuhan atas peristiwa itu. Setelah tiga hari tiga malam bertapa, Kyai Gede Sala mendapat ilham atau petunjuk. Ketika sedang bertapa, seakan-akan ia bermimpi bertemu dengan seorang pemuda gagah. Pemuda itu mengatakan, bahwa dialah yang mennjadi mayat itu dan agar menguburkan jasadnya di situ. Namun sayang, sebelum sempat menanyakan asal dan namanya, si pemuda menghilang. Akhirnya Kyai Gede Sala menuruti perintah pemuda tersebut, dan mayatnya dimakamkan di dekat desa Sala. Karena namanya tidak diketahui, maka mayat itu disebut Kyai Bathang (mayat). Sedangkan tempat makamnya disebut Bathangan. Makam itu sekarang berada di kawasan Beteng Plaza (sekitar Gladag, Solo).
KEHANCURAN PAJANG
Kembali ke Pajang, rupanya penghukuman atas Tumenggung Mayang dan putranya, Pangeran Pabelan, semakin menambah kekecewaan Sutawijaya, Panembahan Senopati, di Mataram. Panembahan mulai tak mendatangi pasewakan , pertemuan, pertemuan di Pajang. Sepaninggal ayahnya, Ki Ageng Pamenahan, Sutawijaya memang diberi hak untuk tidak menghadap Raja Pajang, Hadiwijaya selam setahun penuh. Namun setelah setahun berlalu, Sutawijaya tetap tak pernah lagi menghadap. Pembangkangan Sutawijaya ini menyulut kemarahan Sultan Pajang. Sultan bahkan berangkat sendiri memimpin pasukan Pajang menyerbu Mataram. Perang terjadi. Namun laskar Pajang dapat dipukul mundur meskipun jumlahnya lebih banyak. Hadiwijaya menarik mundur pasukannya. Dalam perjalanan pulang, Hadiwijaya jatuh dari punggung gajah, dan meninggal dunia.
Tumengungan Mayang kini dikenal sebagai kampung Mayang. Lokasinya berada sekitar 3 kilometer arah barat daya kampung Pajang di Kecamatan Laweyan, Solo. Sejak tragedi asmara berdarah antara Pangeran Pabelan dan Sekar Kedaton tahun 1582, kedua kampung ini seperti menyisakan dendam yang mengakar. Tak jarang warga kedua kampung ini tawuran hanya karena hal-hal sepele. Berbilang masa kemudian, kedua kampung bahkan pernah membuat kesepakatan tak tertulis, bahwa keturunan Pajang dan Mayang tidak akan membentuk keluarga. Artinya, tak akan pernah terjadi pernikahan antar anak cucu kedua kampung. Tapi ini terjadi puluhan bahkan ratusan tahun lalu.
Kisah kekerasan, anarkhisme, dan peperangan antar warga di dua kampung tersebut kini tinggla sejarah. Sebab setelah Kasultanan Pajang runtuh dan Mataram membentuk Kasultanan, perseteruan dan perang dingin kedua kampung semacam itu kini sudah mereda. jika ada persaingan, bukan dalam bentuk persaingan yang berbau anarkhisme atau kekerasan. Kedua kampung sampai sekarang pun tetap sebagai rival, tapi rival atau persaingan yang positif ke arah kemajuan. "Saya memang pernah mendengar cerita soal perang dingin dan tawuran itu dari kakek. Tapi itu dulu sekali. Kakek saya saja mendengar cerita itu dari kakeknya lagi. Sekarang tidak ada apa-apa kok. Damai saja..." kata Waskito, seorang warga kampung pajang.
Lain lagi komentar Harsono, warga Kampung Mayang. "Persaingan itu tetap ada, tapi pas tujuhbelasan saja. Biasa Mas, lomba antar kampung."
Ya begitulah kisahnya. Sejarah memang selalu mempunyai kisahnya sendiri. Tragedi cinta Pangeran Pabelan dan Sekar Kedaton ini hanya satu dari sekian banyak tragedi serupa. Sebut saja Anabaya atau Ki Ageng Mangir dan Pembayun, Roro Mendut Pranacitra dan seterusnya.

KISAH LAIN YANG SERUPA>>>>>
Di masa kerajaan Pajang dulu, tersebutlah nama Raden Pabelan putra Tumenggung Mayang, salah satu menteri kepercayaan Sultan Pajang Hadiwijaya. Pabelan mempunyai wajah yang sangat tampan, konon di wilayah Pajang tidak ada yang mampu mengalahkan indahnya paras mukanya itu. Tetapi, sifat Pabelan tidak seelok wajahnya. Pabelan seorang playboy. Jari-jari tangan tidak akan cukup untuk menghitung sudah berapa wanita yang menjadi korban Pabelan. Baik yang masih perawan, janda atau bahkan yang masih menjadi istri orang.
Tumenggung Mayang tentu saja malu atas perilaku Pabelan dan selalu gelisah memikirkan kelakukan anak laki-laki satu-satunya itu. Kelakuan Pabelan mengancam kedudukannya sebagai tumenggung, karena dia telah mendapatkan peringatan keras dari Sultan Pajang agar menghentikan tingkah Pabelan yang buruk itu. Satu-satunya jalan, dia harus membunuh Pabelan, putranya sendiri.
Suatu siang, Tumenggung memanggil Pabelan untuk menghadapnya, “Pabelan, kalau jadi playboy jangan tanggung-tanggung, kalau kamu berani pacari putri Sultan, si Sekar Kedaton”.
“Apa mungkin aku bisa masuk ke istana. Penjagaan pasti sangat ketat, apalagi di istana keputren. Apakah ayah punya ide?” Dalam hati Pabelan sangat girang, dia tidak menyangka kalau ayahnya menyuruh merebut hati Sekar Kedaton.
“Ada, nanti ayah bantu dengan mantra-mantra sakti supaya kamu bisa menembus tembok dan prajurit istana. Ini aku berikan sepasang kembang kenanga untuk kamu berikan kepada Sekar Kedaton”, begitu kata Tumenggung Mayang kepada anak lelakinya itu. Pabelan tidak tahu ada rencana busuk di balik kebaikan ayahnya. Tumenggung Mayang ingin menjebak Pabelan. Bagi Tumenggung Mayang, Pabelan lebih terhormat mati karena kepergok memacari putri Sultan dari pada ditangkap dan mati dikeroyok rakyat jelata ketika ketahuan berada di rumah seorang janda.
Pabelan segera menuju istana. Di balik tembok istana dia meramal mantra yang diberikan ayahnya. Ajaib, tembok istana menjadi demikian pendek, sehingga dengan mudah dia bisa melangkah masuk istana. Di sana dia bertemu dengan seorang emban keputren, kemudian dia titipkan sepasang kembang kenanga untuk diberikan kepada Sekar Kedaton.
“Dari mana kembang kenanga yang wangi ini, mbok. Aduhai, harumnya membuat hatiku bahagia seperti ini,” Emban pun menceritakan asal muasal kembang tadi. Tidak henti-hentinya Sekar Kedaton menciumi kenanga tadi. Tanpa pikir panjang, dia minta ke emban supaya memanggil Pabelan. Begitu melihat ketampanan Pabelan, Sekar Kedaton jatuh cinta pada pandangan pertama. Demikian pula dengan Pabelan, sangat terkesima oleh kecantikan putri Sultan, bedanya bagi Pabelan pertemuan itu merupakan cinta ke sekian pada pandangan pertama.
Mereka pun memadu kasih di taman keputren. Malam hampir tiba, saatnya Pabelan pamitan pulang. Tapi ada yang ganjil. Mantra yang diberikan ayahnya tidak bisa dipergunakan lagi untuk keluar istana.
Kadung jatuh cinta! Pabelan dan Sekar Kedaton merasa situasi seperti itu justru menguntungkan bagi mereka, bidadari di kahyangan sedang menurunkan hujan cinta kepada mereka berdua. Tujuh hari tujuh malam, Pabelan dan Sekar Kedaton tidak keluar kamar.
Keadaan itu menggelisahkan para emban. Tugas emban memang harus melindungi junjungannya. Emban segera melaporkan peristiwa yang terjadi di keputren itu kepada Sultan. Sudah bisa diduga, amarah Sultan menggelegak dan dengan langkah-langkah yang panjang menuju istana keputren. Pintu kamar Sekar Kedaton didobraknya.
Pabelan dan Sekar Kedaton tengah bergumul di atas peraduan. Sultan kalap, harga dirinya telah diinjak-injak oleh seorang playboy. Sekar Kedaton lambang kesucian keputren Pajang telah ternoda. Dengan tangan gemetar, Sultan mencabut keris saktinya.
Pabelan tewas seketika. Keris sakti itu telah menancap di dadanya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar