Sabtu, 12 Maret 2016

BABAD TULUNGAGUNG

PERGURUAN PACET
Pada zaman Pemerintahan Mojopahit hubungan antara daerah pedalaman sangat sulit, sehingga keamanan di sebelah selatan sungai Brantas tidak mudah dapat dikuasai.
Sering disana-sini timbul pemberontakan. Berdirinya perguruan-perguruan sangat besar manfaatnya bagi kepentingan raja, karena selain mengajarkan ilmu, para guru pada umumnya juga merupakan mata telinga dari pada perguruan Negara. Demikian pula hubungannya dengan peguruan di dukuh Bonorowo, dekat Campurdarat yang terkenal dipimpin oleh seorang sakti bernama Kyai PACET.
Kyai Pacet mengajarkan ilmu Joyokawijayan. Ia mempunyai murid-murid pilihan diantaranya :
1. Pangeran Kalang dari Tanggulangin.
2. Pangeran Bedalem dari Kadipaten Betak.
3. Menak Sopal dari Kadipaten Trenggalek.
4. Kyai Kasanbesari Tua-Tua dukuh Tunggul.
5. Kyai Singorataruno dari dukuh Plosokandang.
6. Kayi Sendang Gumuling dari desa Bono.
7. Pangeran Lembu Peteng putra Majapahit (termasuk murid baru).
Pada suatu hari Kayi Pacet telah mengadakan pertemuan dengan para murid-muridnya. Pada persidangan itu selain memberikan wejangan-wejangan ilmu, Kyai Pacet menceritakan, bahwa diantara murid-muridnya ada yang mendirikan peguron, tetapi sayangnya tidak memberitahukan hal itu kepada gurunya.
Kyai Kasanbesari merasa tertusuk perasaannya, dikarenakan dia sendirilah yang mendirikan peguron sebagaimana kata sindiran yang telah diucapkan dihadapannya dengan terus terang oleh sang guru tersebut.
Dengan tanpa pamit seketika itu juga Kyai Besari meninggalkan tempat pesamuan. Dengan kepergian Kyai Besari yang tanpa pamit itu Kyai Pacet lalu menyuruh dua orang muridnya yaitu Pangeran Kalang dan Pangeran BEDALEM untuk menasehati Kyai Kasanbesari agar menyadari diri dan mau kembali ke Bono rowo untuk tetap menjadi murid dari Kyai Pacet. Apa sebab Kyai Pacet menunjuk kedu murid tersebut, karena ia mengerti bahwa Pangeran Kalang dan Pangeran Bedalem dengan diam-diam juga menjadi muridnya Kyai Kasanbesari. Dengan keberangkatan dua orang utusan tersebut maka Kyai Pacet berpesan pada murid-murid lainnya supaya mereka mau tetap di Bonorowo untuk melanjutkan pelajarannya, sedang Kyai Pacet akan mengadakan semadi di dalam sebuah gua. Yang ditugaskan mengawasi di luar gua adalah Lembu Peteng.
KYAI KASANBESARI INGIN MEMBUNUH KYAI PACET.
Kyai Kasanbesari yang hatinya merasa tersinggung dan masih dalam keadaan marah terhadap gurunya, telah kedatangan dua orang utusan dari Bonorowo yaitu Pangeran Kalang dan Pangeran Bedalem. Dalam wawancaranya Pangeran Bedalem menyatakan, bahwa dia tidak akan mencampuri urusan Kyai Kasanbesari dan Kyai Pacet, dan dia terus pulang ke Betak. Sebaliknya Pangeran Kalang malah menunjuki tindakan Kyai Besari bahkan dibakar semangatnya untuk diajak berontak dan membunuh gurunya.
Setelah berunding masak-masak, maka berangkatlah mereka berdua ke Bonorowo dengan tujuan untuk membunuh Kyai Pacet. Pada waktu Kyai Besari dan Pangeran Kalang secara diam-diam masuk ke dalam gua tempat Kyai Pacet bersemadi dengan tanpa diketahui oleh fihak yang mengawasi, maka kedua orang itu merasa sangat terkejut karena dalam penglihatannya mereka telah berjumpa dengan seekor singa yang siap untuk menerkamnya. Kyai Besari dan Pangeran Kalang cepat-cepat keluar dari gua dan lari tunggang langgang.
Konon, setelah kedua orang itu melarikan diri maka Kyai Pacet telah memanggil Pangeran Lembu Peteng yang berjaga di luar gua dan ditanya mendengar apakah waktu Kyai Pacet sedang bersemadi Pangeran Lembu Peteng menjawab, bahwa dia tadi telah mendengar suara “GEMLUDUG” dan setelah dilihatnya tampak bahwa Kyai Pacet memegang cahaya yang kemudian berubah menjadi sebilah keris. Keris tersebut kemudian diberi nama Kyai Gleduk, sedang desa dimana Kyai bersemadi hingga sekarang bernama GLEDUG. Selesai bersemadi Kyai Pacet segera mengejar kedua orang yang sedang berlari itu.
Kyai Kasanbesari mengerti kalau dikejar, segera mengeluarkan kanoragannya dengan membanting buah kemiri yang berubah menjadi seekor harimau.
Kyai Pacet mengimbanginya dengan membanting bungkul gamparan yang berubah menjadi ular besar. Kedua binatang itu berkelahi. Harimau kanoragan dari Kyai Besari kalah dan berubah menjadi buah kemiri lagi. Tempat dimana Kyai Besari menderita kekalahan itu oleh Kyai Pacet dinamakan desa Macanbang. Kyai Besari terus melarikan diri, sedang Kyai Pacet bersama Pangeran Lembu Peteng kembali ke Padepokan untuk mengerahkan murid-murid guna menangkap Kyai Besari dan Pangeran Kalang.
Murid dari Kyai Pacet disebar ke seluruh penjuru dengan dipimpin oleh Pangeran Lembu Peteng. Akhirnya Pangeran Lembu Peteng dan teman-temannya dapat berjumpa dengan Kyai Besari dan Pangeran Kalang. Timbullah peperangan yang ramai. Kyai Besari melarikan diri ke Ringinpitu, sedang Pangeran Kalang dikejar terus oleh Pangeran Lembu Peteng.
Pangeran Kalang lari ke Betak dan bersembunyi di tamansari Kadipaten Betak. Pada waktu itu putera dari Pangeran Bedalem yang bernama Roro Kembangsore sedang berada di Tamansari.
Roro Kembangsore merasa tidak keberatan bahwa Pangeran Kalang bersembunyi di situ, karena Pangeran Kalang masih pernah pamannya (saudara dari Ayahnya).
Kemudian datanglah Pangeran Lembu Peteng ke tamansari untuk mencari Pangeran Kalang.
Di tamansari Pangeran Lembu Peteng bertemu dengan Roro Kembangsore. Puteri Bedalem ini tidak mengakui bahwa pamannya bersembunyi disitu. Pangeran Lembu Peteng tertarik akan kecantikan sang putri dan menyatakan rasa asmaranya. Roro Kembangsore mengimbanginya.
Ketika kedua merpati tersebut sedang dalam langenasmara, maka Pangeran Kalang yang bersembunyi di tamansari itu dapat mengintip dan mengetahui bagaimana tindakan kemenakannya terhadap Pangeran Lembu Peteng. Dengan diam-diam Pangeran Kalang masuk ke dalam Kadipaten untuk melaporkan peristiwa tersebut kepada kakaknya ialah Pangeran Bedalem.
Pangeran Bedalem setelah mendengar pelaporan dari adiknya, menjadi marah sekali, terus pergi ke tamansari. Timbullah perang antara Pangeran Lembu Peteng dan Pangeran Bedalem. Pangeran Lembu Peteng dapat meloloskan diri bersama dengan Roro Kembangsore, tetapi terus dikejar oleh Pangeran Bedalem.
Kembali kepada kisah Kyai Besari yang berhasil meloloskan diri dari peperangan dengan murid Kyai Pacet. Ia menuju ke desa Ringinpitu, rumah Kyai Betak, yaitu pernah kakaknya. Pada waktu itu Kyai Betak sedang berada di pendopo bersama dengan dua orang anaknya yang bernama Banguntulak dan Dadaptulak. Dengan kedatangan Kyai Besari kedua anak tersebut lalu keluar untuk pergi ke ladang.
Kyai Besari mengatakan bahwa kedatangannya ke Ringinpitu itu bermaksud untuk meminjam pusaka ialah pusaka Ringinpitu yang berbentuk tombak bernama Korowelang dengan alasan untuk kepentingan “NGIDERI PARI”. Kyai Betak tidak meluluskan permintaan adiknya. Kyai Besari marah, akhirnya terjadi perang. Kyai Betak kalah dan mati terbunuh. Kyai Besari terus pergi dengan membawa pusaka Korowelang.
Waktu Dadaptulak dan Banguntulak pulang dari ladang, mereka sangat terkejut melihat ayahnya berlumuran darah dan dalam keadaan tidak bernyawa. Oleh sebab tidak ada orang lain yang datang di situ kecuali Kyai Besari, maka Banguntulak dan Dadaptulak yakin bahwa pembunuhnya tak lain tentu Kyai Besari.
Segera mereka mengejarnya ke arah selatan dan dapat menemukannya. Terjadilah peperangan. Banguntulak dan Dadaptulak kalah. Banguntulak terluka dan berlumuran darah. Darahnya berbau langu. Maka tempat dimana ia mati dinamakan Boyolangu, sedang tempat dimana Dadaptulak meninggal dinamakan Dadapan.
Kyai Besari melanjutkan perjalannya. Ia berjumpa dengan Pangeran Bedalem yang sedang mengejar Pangeran Lembu Peteng. Pangeran Bedalem menceritakan tentang peristiwanya, yang mana Kyai Besari dalam hal itu bersedia membantunya. Keduanya segera pergi mencari Pangeran Lembu Peteng yang lari bersama-sama Roro Kembangsore.
Pada waktu Pangeran Lembu Peteng dan Roro Kembangsore sedang beristirahat di tepi sungai, datanglah Kyai Besari dan Pangeran Bedalem. Pangeran Lembu Peteng dapat tertangkap dan dibunuhnya. Jenazahnya dibuang ke dalam sungai. Roro Kembangsore dapat meloloskan diri terus lari. Punakawan dari Pangeran Lembu Peteng setelah mengetahui peristiwa terbunuhnya Pangeran yang menjadi momongannya itu memberi tahukannya kepada Kyai Pacet. Kyai Pacet segera mengirimkan utusan, ialah Adipati Trenggalek dengan diikuti oleh bekas punakawan Pangeran Lembu Peteng untuk mengadakan pelaporan ke Mojopahit. Dalam perjalannya mereka bertemu dengan Perwira Mojopahit bersama dengan Pangeran Suka yang ketika itu mendapat tugas dari Raja untuk mencari putra yang meninggalkan kerajaan tanpa pamit, ialah Pangeran Lembu Peteng. Adipati Trenggalek menceritakan hal ikhwal tentang terbunuhnya Pangeran Lembu Peteng. Setelah mengerti prosesnya maka Perwira Mojopahit tersebut ingin membuktikan tempat kejadian itu bersama-sama dengan wadyabalanya.
Meskipun diadakan pengerahan tenaga untuk mencarinya, namun jenazahnya Pangeran Lembu Peteng tak dapat diketemukannya. Sungai dimana jenazah Pangeran Lembu Peteng dibuang oleh Perwira Mojopahit diberi nama Kali Lembu Peteng.
PERWIRA MADA MENCARI JEJAK PANGERAN BEDALEM DAN KYAI BESARI.
Pangeran Bedalem setelah mendengar berita bahwa ia dikejar oleh balantentara dari Mojopahit, sangat ketakutan dan melarikan diri ke jurusan selatan. Karena takutnya maka Pangeran Bedalem bunuh diri mencebur ke sebuah kedung. Kedung tersebut kemudian dinamakan Kedung Bedalem. Oleh sebab Kadipaten Betak lowong, maka yang diangkat untuk mengganti Bedalem ialah Pangeran Kalang.
Balatentara Mojopahit disebar untuk mencari Kyai Besari. Putra Mojopahit yang bernama Pangeran Suka dalam mengadakan operasi ini kena dirunduk oleh Kasan Besari dan tergelincir masuk ke sebuah Kedung hingga meninggal dunia. Kedung tersebut lalu diberi nama Kedungsoko. Akhirnya Kyai Besari dapat diketemukan di desa Tunggul oleh Perwira Mada. Oleh sebab itu Kyai Besari tidak mau menyerah maka timbul peperangan. Kyai Besari kalah dan terkena pusaknya sendiri yaitu Korowelang. Dukuh tersebut oleh Sang Perwira diberi nama dukuh Tunggulsari.
Karena kecakapannya menumpas pemberontakan-pemberontakan dan kekeruhan-kekeruhan konon sang perwira akhirnya diangkat menjadi Patih dan mendapat gelar Patih Gajah Mada.
PANGERAN KALANG JATUH CINTA KEPADA Rr. INGGIT Setelah Pangeran Kalang menjabat Adipati di Betak, maka hatinya tertawar oleh Rr. Inggit, adik dari Retno Mursodo janda alm. Pangeran Bedalem. Roro Inggit ingin dijadikan istrinya, tetapi menolak dan Retno Mursodo juga tidak menyetujuinya.
Pangeran Kalang memaksanya. Roro Inggit bersama Retno Mursodo meninggalkan Betak dan terus melarikan diri menuju ke desa Plosokandang.
Pangeran Kalang berusaha mengejarnya, tetapi kehilangan jejak, sehingga ia lalu mengeluarkan suatu maklumat, yang menyatakan bahwa barang siapa ketempatan dua orang putri dari Kadipaten Betak tetapi tidak mau lapor, maka akan dijatuhi hukuman gantung.
KYAI PLOSOKANDANG DIPERSALAHKAN
Salah seorang murid dari Kyai Pacet yang bernama Kyai Singotaruno disebut pula Kyai Plosokandang, karena berasal dari dukuh Plosokandang. Pada suatu hari ia ketemuan dua orang putri ialah Rr. Inggit dan Rr. Mursodo. Kedatangan putri Betak ini sengaja mencari pengayoman dari Kyai Plosokandang. Segala sesuatu mengenai tindakan Pangeran Kalang oleh Rr. Mursodo diceritakan semua, dan karena itu Kyai Singotaruno tidak berkeberatan untuk melindunginya, meskipun ia sendiri mengerti bahwa usahanya itu sangat berbahaya bagi jiwanya sendiri.
Adipati Kalang datang sungguh ke Plosokandang dan bertanya kepada Kyai Singotaruno apakah dia mempunyai tamu yang berasal dari Betak. Kyai Singotaruno menjawab bahwa ia tidak mempunyai tamu seorangpun. Tetapi Adipati Kalang tidak percaya, dan ingin mencarinya sendiri ke belakang. Roro Mursodo dan Roro Inggit ketika mendengar bahwa tamu yang datang itu Adipati Kalang, segera berkemas dan melarikan diri ke jurusan barat. Adipati Kalang mengetahui hal ini, dan ia sangat marah kepada Kyai Singotaruno. Kyai Singotaruno dianggap salah, dan dijatuhi hukuman gantung.
RORO INGGIT BUNUH DIRI.
Oleh karena Roro Inggit takut bila sampai dipegang oleh Pangeran Kalang, maka ia berputus asa dan bunuh diri terjun ke dalam sebuah Beji atau Blumbang. Tempat dimana Roro Inggit bunuh diri oleh Pangeran Kalang diberi nama desa Beji. Adapun Roro Mursodo terus lari menuju ke Gunung Cilik.
MBOK RONDO DADAPAN.
Ketika Pangeran Lembu Peteng perang dengan Kyai Besari, maka Roro Kembangsore dapat memisahkan diri dan lari ke desa Dadapan.
Di desa tersebut ia menumpang pada seorang janda bernama mBok Rondo Dadapan. mBok Rondo mempunyai anak laki-laki bernama Joko Bodo. Lama kelamaan Joko Bodo terpikat oleh kecantikan wajah Roro Kembangsore dan ingin sekali memperistrinya, tetapi selalu ditolak secara halus oleh Roro Kembangsore. Oleh karena Joko Bodo selalu mendesak maka pada suatu hari ketika mBok Rondo Dadapan sedang bepergian, Roro Kembangsore mengajukan permintaan. Ia bersedia dikawin, asalkan Joko Bodo mau menjalani tapa mbisu di sebuah gunung dekat desa itu. Joko Bodo menerima permintaan tadi dan pergi meninggalkan rumah. Ikatan janji itu tidak diketahui oleh mBok Rondo Dadapan. Roro Kembangsore juga pergi menuju ke Gunung Cilik. Maka ketika mBok Rondo pulang dari bepergian ia merasa terkejut, karena keadaan rumah kelihatan sepi, dan ternyata kosong. Ia pergi kesana kemari dan memanggil-manggil kedua anak tersebut. Tetapi tidak ada jawaban.
Akhirnya diketemukan Joko Bodo sedang duduk termenung menghadap kebarat. Dipanggilnya berulang kali tidak mau menjawab. Karena jengkelnya mBok Rondo lupa dan mengumpat “Bocah diceluk kok meneng bae kaya watu”.
Seketika itu juga karena kena sabda mBok Rondo, Joko Bodo berubah menjadi batu. mBok Rondo menyadari atas keterlanjuran kata-katanya. Maka ia lalu berharap; “Besuk kalau ada ramainya zaman gunung ini saja beri nama “GUNUNG BUDEG”, dan hingga sekarang gunung tadi disebut orang gunung budeg.
RESI WINADI DI GUNUNG CILIK
Pada suatu hari Sang Patih mendengar berita bahwa di gunung cilik ada seorang pendeta wanita yang menamakan diri Resi Winadi. Yang menjadi pendeta tersebut sebetulnya ialah Roro Kembangsore. Kecuali menjadi pendeta ia juga menjadi empu. Resi Winadi mempunyai dua orang cantrik kinasih yang bernama SARWO dan SARWONO. Pada suatu hari cantriknya yang bernama Sarwo disuruh ke Kadipaten Betak untuk mencoba kesaktian dan keampuhan pusaka yang dibuatnya sendiri untuk diadu dengan pusaka milik Pangeran Kalang.
Cara mengadunya adalah sebagai berikut :
Kalau pusakanya ditikamkan di pohon beringin daunnya rontok dan pohonnya tumbang, itulah yang menang. Selanjutnya bilamana pusaka Resi Winadi yang kalah maka Resi Winadi tunduk dan mau disuruh apa saja. Sebaliknya kalau pusaka Sang Resi menang dan Pangeran Kalang menghendaki untuk dimilikinya maka ada syaratnya ialah Pangeran Kalang supaya pergi sendiri ke Gunung Cilik untuk memintanya, tetapi bila sudah mulai naik gunung harus berjalan dengan jongkok (laku dodok), tidak diperkenankan memandang wajah sang resi sebelum diizinkan. Setelah cantrik mengerti akan tugasnya berangkatlah ia. Kecuali penugasan kepada cantrik Sarwo, Resi Winadi juga menugaskan kepada Sarwono untuk masuk ke tamansari Betak dengan menyamar, dan yang penting dapat mencabut sumbat ijuk yang berada di Tamansari. Adapun letaknya di bawah batu gilang .
Setelah datang di Betak cantrik Sarwo menghadap Adipati Kalang dan mengutarakan segala maksudnya, ialah apa yang ditugaskan oleh Resi Winadi.
Pangeran Kalang menanggapi dan menyetujuinya. Masing-masing membawa senjata pusaka ke alun-alun untuk diadunya. Pusaka Betak dicoba terlebih dahulu, ialah ditikamkan pada pohon beringin kurung yang tumbuh di tengah-tengah alun-alun, tetapi tidak apa-apa. Sekarang datang gilirannya pusaka Gunung Cilik. Setelah ditikamkannya, maka semua daunnya telah rontok dan kemudian tumbanglah pohon itu.
Pangeran Kalang mengakui kekalahannya dan ingin sekali memiliki pusaka tersebut. Sarwo tidak keberatan asal Pangeran Kalang bersedia memenuhi syarat-syaratnya tadi. Pangeran Kalang tidak berkeberatan. Dengan diantar oleh cantrik Sarwo dan diikuti oleh beberapa orang prajurit pengawalnya berangkatlah Pangeran Kalang ke Gunung Cilik. Di tamansari Betak, Sarwono yang ditugaskan mencabut sumbat ijuk di bawah batu gilang dapat menemukan tempat itu. Sumbat segera dicabutnya, dan seketika itu memancarlah sumber air yang besar. Kadipaten Betak tertimpa banjir dan terendam air. Sarwono dapat menyelamatkan diri dengan naik sebuah getek.
DI PERTAPAAN GUNUNG CILIK
Waktu itu Sarwono sedang menghadap Resi Winadi untuk melaporkan tugas yang dilaksanakan. Datanglah ibunya Rr. Mursodo. Maka saling berceritalah mengenai riwayat masing-masing. Tak lupa pula disebut-sebut tentang matinya Rr. Inggit, karena dikejar-kejar oleh Pangeran Kalang. Mereka sangat bergembira dapat bertemu kembali sehingga saling mencucurkan air mata. Kemudian datanglah Patih Majapahit dengan bala tentaranya juga ingin menyatakan kebenaran berita yang diterimanya.
Pada saat itu tampaklah dari jauh kedatangan dua orang. Yang seorang berjalan jongkok dan nyembah. Tamu ini tak lain adalah Pangeran Kalang yang diantar oleh cantrik Sarwo. Setelah dekat, maka Sang Resi memberi perintah supaya Pangeran Kalang memandangnya. Alangkah terkejutnya bercampur malu. Karena yang disembah-sembah tadi adalah keponakannya sendiri. Karena malu bercampur takut maka Pangeran Kalang terus melarikan diri, yang kemudian dikejar oleh Patih Mojopahit.
PANGERAN KALANG MATI TERBUNUH.
Timbullah peperangan antara Prajurit pengawalnya Pangeran Kalang dengan bala tentara Mojopahit. Prajurit dari Pangeran Kalang mengalami kekalahan dan kesemuanya mati terbunuh di suatu desa, yang mana oleh Patih Gajah Mada desa tersebut diberi nama desa BATANGSAREN.
Pangeran Kalang terus dikejar, dan oleh tentara Mojopahit dapat ditangkap dan dihujani senjata tajam, sehingga pakaiannya hancur dan badannya penuh dengan luka-luka. Tempat dimana Pangeran Kalang tertangkap ini diberi nama CUIRI.
Meskipun keadaan sudah parah masih dapat melarikan diri, tetapi …….
Tempat tertangkap untuk kedua kalinya ini diberi nama desa Kalangbret.
Adipati Kalang masih berusaha lari, tetapi karena sudah merasa lelah, lalu bersembunyi di song sungai, dan disinilah ia menghembuskan nafasnya yang penghabisan. Tempat tersebut oleh Patih Gajah Mada dinamakan desa Ngesong. Setelah keadaan aman Patih Gajah Mada kembali ke Mojopahit. Bekas pertapaan Rr. Kembangsore hingga sekarang menjadi tempat pesadranan.

2. ASAL MULA NAMA TULUNGAGUNG
Sejarah menyatakan, bahwa nama TULUNGAGUNG tidaklah timbul dengan tiba-tiba. Telah banyak musim silih berganti, berikut masa-masa yang dilampauinya, yang kesemuanya itu meninggalkan kenang-kenangan yang tersendiri di dalam lembaran riwayat terjadinya kota Tulungagung. Apa yang dapat kita kenangkan dari nama TULUNGAGUNG di dalam riwayat lama, sebenarnya adalah suatu tempat lingkaran yang berpusat pada sekitar alun-alun termasuk desa Kauman dan Kampungdalem.
Tulungagung berasal dari dua perkataan : TULUNG dan AGUNG. Kata TULUNG mempunyai dua arti :
Pertama : TULUNG dalam bahasa Sanskerta artinya SUMBER AIR atau dalam
bahasa bahasa Jawa dapat dikatakan umbul.
Kedua : TULUNG yang berarti pemberian pertolongan atau bantuan.
Adapun : AGUNG berarti besar.
Jadi lengkapnya TULUNGAGUNG mempunyai arti “SUMBER AIR BESAR” dan “PERTOLONGAN BESAR”.
Meskipun SUMBER AIR, dan PERTOLONGAN itu berlainan artinya, namun di dalam sejarah Tulungagung kedua-duanya tak dapat dipisahkan, karena mempunyai hubungan erat sekali dalam soal asal mula terbentuknya daerah maupun perkembangannya.
Dahulu orang menyebutnya Kabupaten Ngrowo, ialah sesuai dengan keadaan daerahnya yang berupa rawa-rawa. Lalu lintas perhubungan dilakukan melalui sungai, terutama lewat sungai yang hingga sekarang masih disebut sungai Ngrowo. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan bila letak daerah-daerah yang disebut-sebut orang dalam sejarah maupun cerita-cerita rakyat kesemuanya tidak jauh letaknya dari sungai, misalnya : Gledug, Pacet, Waung, Ketandan, Tawing, dan lain-lain. Sebelum dijadikan Kabupaten daerah-daerah itu dikuasai oleh para Tumenggung di bawah perlindungan kerajaan Mataram.
Di daerah Ngrowo terdapat banyak sumber-sumber air. Diantara sumber-submer itu yang termasuk besar atau agung airnya ialah tempat dimana sekarang sudah menjadi alun-alun. Tempat di sekitar alun-alun ini dinamakan Tulungagung yang berarti ada sumber air yang besar.
Dahulu daerah Ngrowo itu tidak seluas sekarang. Semenjak ketemenggungan diubah kedudukannya menjadi Kabupaten, maka diperlukan adanya perluasan daerah. Tidak cukup hanya terdiri dari rawa-rawa saja, tetapi membutuhkan pula daratan untuk kemakmuran masyarakatnya.
Bantuan-bantuan dari Kabupaten sekitarnya sangat dibutuhkan. Ini terjadi pada sekitar abad ke-19. Kabupaten Blitar menyumbangkan daerah Ngunut. Kabupaten Ponorogo menyumbang daerah pegunungan Tranggalih atau Trenggalek sekarang, sedang Kabupaten Pacitan memberikan daerah pantai selatan, ialah Ngrajun, Panggul, Prigi, dan Jombok. Dengan demikian Kabupaten Ngrowo dahulu daerahnya meliputi pula daerah Kabupaten Tenggalek. Bantuan berupa daerah itu merupakan pertolongan yang besar bagi pembentukan Kabupaten Ngrowo. Bupati pertama hingga ke XI masih disebut Bupati Ngrowo. Baru pada tahun 1901 nama Ngrowo itu diganti dengan TULUNGAGUNG. Ketika itu yang menjadi bupatinya R.T. Partowidjojo. Beliau yang menyaksikan perubahan nama tadi karena menjabat Bupati sejak tahun 1896 hingga tahun 1901.
Demikianlah asal mula TULUNGAGUNG yang hingga sekarang masih pula sering disebut orang kota Banjir. TULUNGAGUNG mengandung makna “Berasal dari SUMBER AIR YANG BESAR”, tetapi dengan usaha dan bantuan yang besar dapat pula memberi pertolongan yang besar.
3. RIWAYAT TERJADINYA ALUN-ALUN TULUNGAGUNG
Semenjak daerah-daerah ketemenggungan digabungkan menjadi satu untuk dibentuk suatu Kabupaten, maka Kota Ngrowo membutuhkan tempat kediaman Bupati dan alun-alun. Pertama-tama dibangun di Kalangbret, kemudian di Ringinpitu. Tetapi karena tidak adanya kesatuan pendapat dari para Tumenggung, maka pembangunan di kedua tempat itu mengalami kegagalan. Guna mengatasi hal ini diadakan pelaporan ke Mataram. Dari Kraton kemudian diperoleh petunjuk berupa ilham, yang mana menyebutkan, bilamana ingin membangun kota yang nantinya akan dapat langsung berdiri dan menjadi tempat yang ramai dan daerahnya menjadi subur, supaya memilih suatu tempat di sebelah utara Wajak. Di situ terdapat sumber air yang besar. Sumber tersebut supaya disumbat, dan diantaranya ditanami pohon beringin yang berasal dari Mataram.
Usaha penyumbatan sumber air yang besar itu tidaklah mudah. Oleh calon Bupati dicarinyalah petunjuk dari seorang yang berilmu tinggi. Di desa Tawangsari terdapat seorang Kyai sakti yang bernama CHOSIM alias ABU MANSUR. Kyai Abu Mansur dimintai pertolongan untuk melaksanakan tugas pembangunan alun-alun tersebut dan oleh beliau disanggupinya. Tindakan pertama yang diambilnya ialah : Kyai Mansur membongkar tujuh batang pohon beringin yang ditanam di desa Ringinpitu. Kemudian lalu dicarinya persenjataan lain berupa seekor kerbau bule (kerbau yang putih warna bulunya) untuk dipergunakan sebagai sasrahan. Bantuan senjata mistik juga dijalankan, ialah dengan meminta kedatangan rooh halus yang menurut cerita bernama DJIGANGDJOJO dan TJUNTANGDJOJO untuk menunggui penyumbatan air tersebut. Setelah perlengkapannya dipersiapkan, maka lalu diadakan pengerahan tenaga untuk mencari ijuk guna disumbatkan pada mata air tersebut. Yang disuruh memadatkan sumber itu ialah kerbau bule tadi, dengan cara menginjak-injak tanpa istirahat, sehingga karena lelahnya sampai kehabisan tenaga dan mati, kemudian ditanam sebagai sasrahan. Disamping itu juga dibuatkan urung-urung dan saluran yang dapat mengalirkan air lewat Kali Jenes menuju ke sungai Ngrowo. Air sudah tidak memancar lagi. Bibit pohon beringin yang berasal dari Mataram ditanam, yang kemudian menjadi sebuah pohon yang rindang. Oleh masyarakat setempat pohon yang tumbuh di tengah alun-alun itu diberi nama RINGIN KURUNG, karena di sekelilingnya diberi pagar tembok. Ringin itu tumbang, akibat angin besar sesudah jaman Jepang ialah pada tahun 1947.
Semenjak disumbatnya sumber air yang besar itu, maka lambat laun rawa-rawa menjadi kering dan merupakan daerah subur. Pengeringan rawa-rawa itu berarti pula suatu pertolongan besar bagi masyarakat setempat, termasuk kota Tulungagung yang telah menjadi ramai seperti sekarang ini.
Demikianlah sekedar riwayat tentang pembangunan Alun-alun Tulungagung.
4. BABAD – DEMUK.
Meskipun desa Demuk merupakan desa terpencil yang letaknya di dataran pegunungan gamping dekat perbatasan Blitar Selatan, namun juga tak ketinggalan turut menghiasi lembaran dari pada sejarah Kabupaten Tulungagung.
Kalau orang menyebut nama Demuk, maka kesan pertama yang timbul menggambarkan nama sebuah desa tempat orang sakti yang memiliki kelebihan-kelebihan. Desa Demuk pada pertengahan abad ke-19 masih berwujud hutan belukar yang tidak pernah diambah orang. Tak ada yang berani mendekatinya. Karena sudah terkenal keangkerannya.
Boleh dikatakan dalam bahasa Jawa “Wingit”: “Jalma mara jalma mati, sato mara sato mati’. Banyak cerita-cerita ajaib tumbuh di kalangan masyarakat Tulungagung mengenai babadnya desa ini terutama yang menyangkut keistimewaan dari pada penghuni pertama atau cikal bakal, ialah Raden Mas Djajengkoesoemo. Nama ini hampir semua orang-orang tua mengenalnya.
R.M. Djajengkoesoemo masih keturunan Raja Mataram (Hamengkubuwono II). Beliau adalah putra R.M.T. Djajaningrat, Bupati Ngrowo yang ke-5. nama kecilnya R.M. Moidjan. Sejak dari kanak-kanak sudah tampak jiwa kepahlawanannya, dan bibit kebenciannya terhadap orang-orang Belanda. Seringkali putera Bupati ini bertengkar dengan sinyo-sinyo dan bahkan pada suatu ketika pernah ada seorang anak Belanda yang ditempelengnya sampai jatuh pingsan. Ayahnya, ialah R.M.T. Djajaningrat kerap kali merasa jengkel terhadap tindakan puteranya. Karena kenakalannya pernah R.M.Moijan dihajar oleh sang ayah, dimasukkan dalam kolah berisi air yang dicampur dengan tumbukan lombok rawit. Tetapi ternyata tidak apa-pa. jangankan menangis, merasa pedih atau “wedangan” (bahasa Jawa) pun tidak. Setengah orang mengatakan bahwa R.M.Moijan adalah anak kendit (mempunyai jalur putih yang melingkar diatas pingganya).
Ini menandakan seorang anak yang memiliki kekebalan. Setelah dewasa R.M.Moijan berganti nama R.M.Djajengkoesoemo. pada tahun 1644 R.M.Djejengkoesoemo R.M.Djajengkoesoemo sudah menjabat Wedono di kota Tulungagung, lalu pindah ke Srengat (1849), kemudian ke Nganjuk (1051). Tiga tahun kemudian menjabat Collecteur Berhbek lalu dipindah jadi Wedono Distrik Gemenggeng. R.M.Djajengkoesoemo sangat memperhatikan kebutuhan penduduk. Ini terbukti dengan usaha pembangunannya, ialah ketika di Srengat membuat bendungan Pakel yang dapat menolong penghidupan rakyat desa Pakel, Pucung, dan Majangan (Ketm. Ngantru). Selain itu membangun rumah Kawedanan dengan merogoh sakunya sendiri.
Di Nganjuk juga membangun rumah, lantai dan pagar Kawedanan atas biaya sendiri serta mengerjakan bendungan kali Lo, yang menggenangi kebun tebu sampai menjadi sawah. Di Gemenggeng membangun rumah Kawedanan beratab sirap dan memperbaiki bendungan Kedung Gupit-Paron yang sering kali dadal, sampai menjadi kuta sekali.
Oleh sebab beliau sering berkecimpung dalam masalah pembangunan, maka hubungannya dengan masyarakat menjadi lebih akrab, sehingga hampir setiap orang mengenalnya.
Eratnya perhubungan ini lebih menjangkitkan jiwa kepatriotannya, sehingga dimana saja namanya selalu disebut orang. Beliau termasuk seorang yang berkeras hati dan pemberani, tetapi perasannya sangat halus. Hal ini terbukti dengan terjadinya peristiwa Ngujang. Pada waktu itu jembatan Ngujang sedang dalam keadaan dibangun. Kuli-kuli bekerja dengan sibuknya.
Dalam perjalannya dari Nganjuk ke Tulungagung R.M.Djajengkoesoemo tertarik kepada kesibukan pekerjaan-pekerjaan pembangunan, sehingga terpaksa berhenti untuk melihatnya.
Makam R.M. Djajengkoesoemo
Di Demuk (wafat tgl. 9-12-1903)
(foto team 1971).
Diantara berpuluh-puluh kuli, terdapat beberapa kelompok orang yang sedang beristirahat sambil duduk menikmati bekal yang dibawanya dari rumah.
Kebelutan pada saat itu ada seorang petugas bangsa Belanda yang sedang berkeliling mengadakan pengawasan. Mengetahui orang duduk sambil makan itu ia marah-marah dengan membentak-bentak ia menyuruh orang-orang itu bekraja kembali dan menaburkan pasir pada makanan kuli tersebut.
R.M. Djajengkoesoemo mengetahui semua kejadian itu. Beliau tak dapat menabahkan hatinya. Tanpa pikir panjang pusakanya dihunus diacungkan kepada petugas yang kasar itu. Karena pusaka itu sangat ampuh maka petugas tadi tak dapat bergerak dan mati dalam keadaan tetep berdiri.
Keris pusaka itu bernama keris Kyai Semar Mesem yang sampai sekarang masih disimpan oleh keturunan R.M. Djajengkoesoemo. Dengan terjadinya peristiwa itu R.M. Djajengkoesoemo dipersalahkan, tetapi karena beliau itu masih keturunan Raja, tidak dikenakan hukuman penjara, melainkan diselong ke Demuk. Untuk ini beliau disuruh mengajukan permohonan babad hutan kepada pemerintah Belanda. Surat keputusan berhenti dari jabatan karena pensiun onderstand diberikan dan berlaku mulai tanggal 23-3-1880, sedang surat ijin babat hutan Demuk diperolehnya pada tanggal 10 Oktober 1893.
Waktu berangkat beliau hanya membawa bekal uang f.0,25, dan mengerahkan tenaga sebanyak 40 orang. Tiga pedukuhan yang dikerjakan ialah Puser, Boto dan Kasrepan. Luas tanah yang dibabad kesemuanya ada 35 bau, terdiri dari 9,75 bau untuk pekarangan, dan 25,25 bau untuk pagagan. (Isin No. 755 tgl. 10 Oktober 1893). Ikut bertanda tangan sebagai Komisi :
1. Kontroleur Ngrowo,
2. Wedono Distrik Ngunut, dan
3. Assisten Wedono Kalidawir.
Tanah tersebut tetap menjadi miliknya R.M. Djajengkoesoemo sampai turun-temurun. R.M. Djajengkoesoemo wafat pada tanggal 9-12-1903 dan dimakamkan di Demuk.
Sedang putranya bernama R.M. Argono Purbokoesoemo yang umumnya disebut Raden Margono pernah menjabat Kepala Desa Puser. Cerita kesaktian masih pula terdapat pada masa itu. Pernah ada seorang mantra klasir mencobanya, ialah dengan sengaja meninggalkan topinya. Mantri ini lalu suruhan orang untuk mengambilnya tetapi entah karena apa tidak kuat mengangkat. R.M.Margono mengerti hal ini. Beliau segera mendekati topi tersebut, lalu disemparnya dengan kaki. Topi melesat dan jatuh persis di atas kepala mantri Klasir. Demonstrasi ini diketahui oleh para lid Klasir, baik dari desa Demuk maupun desa sekitarnya, sehingga setelah itu Mantri Klasir tak berani menonjolkan kelebihannya lagi.
R.M. Djajengkoesoemo oleh pejabat pemeritnah Belanda sangat disegani. Demikian pula keturunnya ialah R.M. Purbokoesoemo.
Ketika jaman perang kemerdekaan desa Demuk yang terpencil itu menjadi ramai seperti kota, karena banyak orang datang untuk minta restu agar untuk mendapatkan keselamatan di dalam masa perjuangan menghadapi musuh.
R.M. Poerbo ini mempunyai 9 orang putera dan salah seorang diantaranya menjadi isteri Wedono pensiunan (R.P. Sajid) di Kediri, yang menyimpan surat piagam maupun surat silsilah peninggalan Eyangnya. R.M. Poerbo meninggal pada tanggal 26-6-1946 dan dimakamkan pula di dekat makam ayahnya. Hingga sekarang desa Demuk merupakan desa yang bersejarah sehingga di dekatnya didirikan Pos kemantren dan setelah diadakan perubahan wilayah, masuk Kecamatan Pucanglaban.
5. DESA – PERDIKAN
Sebelum kita mengungkap tentang sejarah desa Perdikan yang berada di dalam wilayah Kabupaten Tulungagung, maka untuk mendapatkan suatu gambaran yang lebih luas, para pembaca kami ajak meninjau sepintas lalu dalam garis besarnya tentang pengertian yang menyangkut persoalan tanah perdikan, sehingga dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan yang lebih positif dalam mengadakan penilaian selanjutnya.
ARTI KATA PERDIKAN
Nama “perdikan” asalnya dari perkataan Sanskerta “Mahardika” artinya tuan, master, sieur. Dalam buku Ramayana sebutan mahardikan oleh para pendeta, diartikan bebas dari hidup lahir. Sebagai seorang kawula sudah dapat manunggal dengan Gustinya. Akan tetapi dalam dunia yang fana ini banyak orang yang memakai kata merdika dalam pengertian “bebas untuk berbuat sekehendak hatinya”.
ASAL DESA PERDIKAN
Desa Perdikan sudah ada sejak dari jaman agama Hindu di Jawa. Pada waktu itu oleh raja telah diberikan anugerah kepada orang-orang atau desa-desa tertentu, berupa kebebasan dari membayar pajak atau melakukan wajib kerjanya terhadap raja atau Kepala Daerah.
HAK-HAK DARI DESA PERDIKAN
Kepada orang-orang atau desa-desa tersebut diberi hak istimewa oleh raja, misalnya hak untuk memakai songsong kebesaran, memakai warna yang ditentukan, dan sebagainya.
Pemberian hak atas tanah rupa-rupanya hanya untuk pembukaan hutan belukar, tidak menyangkut tanah-tanah pertanian. Daerah perdikan itu langsung di bawah kekuasaan Raja, tidak di bawah pangeran, adipati, bupati, dan lain sebagainya.
Raja berhak untuk merubah adanya hak-hak istimewa itu dan juga berhak untuk mencabutnya.
ALASAN MEMBERIKAN HAK.
Yang biasanya menjadi alasan bagi Raja untuk memberikan hak-hak istimewa itu misalnya :
I. Untuk memajukan agama.
II. Untuk memelihara makam raja-raja atau bangsawan-bangsawan keturunannya.
III. Untuk memelihara pertapaan, pesantren, langgar dan masjid (di jaman Islam).
IV. Untuk memberi ganjaran kepada orang atau desa yang berjasa kepada raja umpamanya yang menunjukkan kesaktiannya kepada raja pada saat yang genting.
Secara demikian maka pegawai tinggi yang berjasa pun diberi pula ganjaran. Oleh karena itu desa perdikan atau orang-orang yang dapat hak istimewa tadi tidak di bawah perintah kepala daerah. Mereka politis termasuk orang penting bagi raja, yaitu sebagai mata telinga raja dalam daerah-daerah yang letaknya jauh dari pusat kerajaan.
Desa perdikan dapat digolongkan menjadi dua :
Pertama : Yang dibebaskan dari membayar pajak dan melakukan wajib kerja, dengan dibebankan kewajiban untuk memelihara makam, memelihara kepentingan agama, dan lain sebagainya.
Kedua : Yang dibebaskan dari kewajiban-kewajiban terhadap raja atau kepala daerah, dengan ketentuan bahwa kewajiban-kewajiban haruslah dijalankan guna kepentingan kepala desanya, yang dapat mempergunakannya sebagai keuntungan sendiri atau untuk lain keperluan. x)[1]
adapun yang disebut “ desa perdikan” terdiri dari empat macam, ialah :
I. Desa Perdikan.
II. Desa Mutihan.
III. Desa Pakuncen.
IV. Desa Mijen.
I. Desa Perdikan : Adalah desa yang dibebaskan dari kekuasaan yang tertentu, dari suatu beban dan kewajiban-kewajiban, yang semua itu harus dipikul oleh rakyat di daerah biasa. Istilah perdikan, biasa berlaku buat perseorangan dan dapat berlaku buat suatu daerah (desa) dengan semua penduduknya.
Apabila segenap penduduk desa dibebaskan dari membayar pajak dan dari melakukan wajib kerja buat raja atau kepala daerah di atas desa, maka desa itu dinamakan desa “Perdikan”.
II. Desa Mutihan : Yang dinamakan desa Mutihan ialah desa yang penduduknya terkenal sebagai orang alim, taat kepada pemerintah agama, yaitu beribadat berpuasa dalam bulan Ramadhon dan menjalankan perintah agama. Mereka menjatuhkan diri dari kesenangan-kesenangan lahir, yang dikenal dalam masyarakat Jawa, seperti pukul gamelan di rumahnya, joged, tayub, wayang, dan lain sebagainya. Orang tadi disebut “PUTIH”.
Dengan demikian maka guru agama dan santri-santri dibebaskan dari pembayaran pajak dan wajib kerja, atau kewajiban-kewajiban itu dialihkan untuk diberikan kepada kepala desa untuk kepentingan agama.
Begitulah maka di-ibu kota kabupaten dan dibanyak ibu kota Kawedanan diadakan kampung Mutihan, yang biasanya dinamakan kampung Kauman.
III. Desa Pakuncen : Istilah mutihan atau keputihan juga dipakai bagi mereka, yang diwajibkan memelihara makam para bangsawan atau makam-makam yang dianggap keramat.
Orang-orang yang memikul kewajiban itu biasanya juga orang yang alim, setidak-tidaknya ia harus dapat membaca Qur’an dan hafal ayat-ayatnya, sebab ia dalam beberapa upacara harus dapat mengucapkan atau membaca do’a.
Nama penjaga dan pemelihara makam tersebut disebut Pakuncen atau juru-kunci (dari perkataan kunci, yaitu kunci dari pada rumah makam yang dimuliakan).
IV. Desa –Mijen : Istilah Mijen tidak lagi dipakai di daerah “GOUVERMENT”. Perkataan Mijen asalnya dari istilah Piji.
Di Piji (Piniji) artinya di-ismewakan terpilih dari yang lain-lain.
Di daerah Swapraja oleh Susuhunan telah diadakan desa Mijen untuk guru agama, yang sangat dicintainya.
KEWAIBAN BAGI DESA PERDIKAN.
Untuk memberi pembebasan pembayaran pajak antar wajib kerja kepada desa atau orang perdikan yang wajib di-ingat adalah sebagai berikut :
Oleh (1). Tanah yang dimiliki / penduduk desa perdikan dilain desa haruslah dikenakan pajak bumi.
(2). Pembebasan dari pajak penghasilan hanya berlaku bagi penduduk desa yang tetap, dan kalau penghasilannya didapat dari sesuatu perusahaan, maka yang dibebaskan hanyalah pajak dari perusahaan, yang tempatnya berada dalam wilayah desa perdikan saja.
(3). Pembebasan dari pajak rojokoyo hanya berlaku buat chewan milik penduduk desa perdikan yang tetap atau milik orang perdikan, yang dagingnya tidak untuk dijual.
(4). Siapa yagna tergolong penduduk tetap dari desa perdikan ditentukan oleh kepala daerah.
Dengan resolusi pemerintahan Ned. Ind. Ttgl. 24/5-1836 No. 12 ditetapkan bahwa apabila kepala desa perdikan meninggal dunia, untuk penggantinya harus diajukan calon-calon oleh pegawai pemerintah yang berkewajiban, terutama dari anak lelaki atau keturunan lainnya. Jika ini tidak ada, maka pencalonan itu dipilih dari sanak saudara yang paling dekat atau dari para ulama ang terkemuka.
Dalam Regl. Tentang pemilihan kepala desa (Stbl. 1078 No. 27) ditetapkan, bahwa kepala desa perdikan diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur Jendral.
SEJARAH DESA PERDIKAN, TAWANGSARI, WINONG DAN MAJAN.
Setelah sedikit banyak kita memiliki pengertian tentang kedudukan serta persoalan pokok mengenai tanah perdikan, maka marilah kita ikuti sejarah perkembangan tanah perdikan yang berada di dalam wilayah Tulungagung.
Sejak jaman penjajahan Belanda, Tulungagung memiliki tiga desa perdikan ialah Tawangsari, Winong dan Majan. Desa-desa tersebut terletak di tepi sungai Ngrowo masuk wilayah Kecamatan Kedungwaru.
Untuk mendapatkan suatu gambaran yang lebih jelas mengenai asal usul desa tersebut, di bawah ini kami sajikan sedikit keterangan tentang satu dan lain hal yang ada hubungannya dengan pendirian serta perkembangannya.
Mula pertama tiga desa itu tergabung jadi satu, dapat digolongkan sebagai desa Mutihan, yang dipinpin oleh seorang Kyai bernama Abu Mansur.
Abu Mansur berasal dari Ponorogo, murid dari Kyai Basyariah. Saudara laki-laki menjadi Biskal di Bankalan Madura, sedang adiknya bernama Roro Mirah.
Pada masa itu yang menduduki tahta kerajaan di Mataram adalah Paku Buwono ke II (1742-1749). Seorang dari permaisurinya adalah Roro Mirah adik dari pada Abu Mansur. Dengan demikian Abu Mansur termasuk ipar dari pada Sang Raja.
Oleh sebab Abu Mansur mahir dalam bidang keagamaan maka ia mengajukan permohonan untuk mendirikan pesantren. Tempat yang dipilihnya ialah desa Tawangsari yang terletak di dekat sungai Ngrowo. Desa tersebut pernah ditinjau oleh raja, dan ditanyakan kenapa kyai Mansur memilih daerah itu, karena mengingat letaknya, dikhawatirkan akan mudah dilanda banjir. Tetapi Kyai Mansur berpendapat, justru tempat yang dekat dengan air itu memenuhi syarat untuk dijadikan tanah pertanian dan pesantren.
Pendirian masjid serta pesantren mendapat restu dari raja, Kyai Mansur mendapatkan piagam, yang menyatakan Tawangsari dijadikan daerah perdikan dan diserahkan turun-temurun kepada Kyai Abu Mansur .
Di samping itu untuk keselamatan daerahnya kyai Mansur diberi pinjaman pusaka kraton yang bernama Kyai Banteng Wulung, tetapi bilamana sudah temurun kepada buyut, diharapkan agar pusaka tersebut dikembalikan ke Mataram.
Demikianlah secara singkat riwayat berdirinya desa perdikan Tawangsari. Lama kelamaan pesantren tersebut menjadi ramai, dan kemudian didirikan masjid lagi di Winong dan Majan dan masing-masing dipimpin oleh Kyai Ilyas dan Chasan Mimbar, putra dan cucu kemenakan dari kyai Tawangsari. Mulai saat itu Winong dan Majan dinyatakan berdiri sendiri dan dinyatakan pula menjadi desa perdikan hinga saat ini. Yang diberi wewenang untuk memimpin desa tersebut adalah kerabat dan keturunan dari kedua kyai itu. Kyai Chasan Mimbar adalah keturunan Patih Mataram P.A. Danuredjo yang kawin dengan Kanjeng Ratu Angger putera puteri dari Roro Mirah yang menjadi Permaisuri Raja.
Pada jaman Jepang pusaka dari Tawangsari dikembalikan ke Kraton oleh karena Jepang sudah sampai waktunya pada turun buyut.
Yang menyerahkan ke Jogja ialah Eyang Pandji dari desa Maesan Kecamatan Modjo (ia ada hubungan keluarga dengan Haji Chasan Mimbar).
Pusaka tersebut diterima oleh Hamengku Buwono ke IX. Konon menurut ceritanya waktu pusaka itu masih di Tulungagung, desa Tawangsari tidak pernah dilanda banjir besar.
Dalam usaha pembangunan alun-alun Tulungagung Kyai Abu Mansur juga tidak sedikit jasanya. Beliau yang menyerahkan tenaga untuk penyumbatan sumber air yang kemudian di atasnya ditanami pohon beringin (baca sejarah pembuatan alun-alun). Kyai Abu Mansur meninggal dunia di Mekkah ketika menunaikan ibadah haji.
6. TERJADINYA DESA DI SEKITAR
DAERAH KALIDAWIR.
KARANGTALUN.
Desa Karangtalun dibentuk sebelum tahun 1800.
Yang jadi cikal bakalnya adalah orang bernama :
1. Soerosetjo.
2. Singokromo.
Kedua-duanya berasal dari Jawa Tengah.
Setelah meninggal dunia Pak Setjo dan Singokromo dimakamkan di Karangtalun.
Desa Karangtalun dibagi menjadi beberapa blok, ialah :
1. Karangsono.
2. Pojok, dan
3. Bendiljet (kemudian dijadikan pedukuhan).
KARANGSONO.
Dapat dikatakan Karangsono, oleh sebab pada jaman dulu ketika masih berwujud hutan di situ banyak tumbuh tanaman kayu sono.
POJOK.
Dinamakan Pojok, karena tempat tersebut di dalam desa Karangtalun letaknya mlojok (njupit urang) dan di situ banyak talunnya (pagagan).
BENDILJET.
Dahulu blok Bendiljet merupakan hutan belukar.
Menurut ceritanya ketika dibabat di tengah-tengah hutan tersebut diketemukan sebuah kendil yang berisi enjet. Siapa pemiliknya tak ada yang mengetahui.
Meskipun enjet tersebut telah dipergunakan makan sirih oleh orang-orang di sekitarnya, tetapi tak kunjung habis. Oleh sebab itu lalu dijadikan dukuhan yang diberi nama Bendil-enjet. Di desa Karangtalun terdapat pesantren dan punden ialah :
1. Pesantren Setonodowo.
2. Setono–gede.
3. mBah Kendil.
4. mBah Djangil.
Kisah singkatnya adalah sebagai berikut :
Pesantren Setono-dowo.
Pada jaman peperangan Mojopahit ada dua orang yang lari untuk menyelamatkan diri (anak dan bapaknya).
Di dalam perjalanan kedua orang tersebut bertemu dengan seorang perempuan yang mempunyai tujuan sama. Mereka bertempat tinggal di dalam satu rumah.
Pekerjaan si anak dan si bapak tiap hari babad hutan, adapun perempuan itu menyediakan makannya.
Baik si bapak maupun si anak kedua-duanya menaruh hati kepada perempuan tadi, bahkan si bapak ingin pula memperistrikannya. Pada suatu hari anaknya pamit tidak turut babad hutan, dengan alasan merasa sangat payah. Terpaksa bapaknya berangkat sendirian.
Terjadilah suatu peristiwa dimana si anak tadi senang dengan perempuan yang berdiam serumah itu. Ketika bapaknya pulang dari hutan dan mengetahui tindakan anaknya yang tidak senonoh itu, maka tanpa pikir panjang ia mengambil tombak. Sang anak lari dan dikejar. Akhirnya dapat ditusuk dengan tombak tadi sehingga ususnya keluar.
Tetapi masih sempat lari menuju ke barat dan sekali lagi dikejar dan ditombaknya sehingga mati. Dengan matinya anak tersebut, tombaknya juga ditanam bersama mayat itu, sehingga makamnya jadi panjang. Tempat tersebut hingga sekarang disebut setonodowo (makam panjang).
Punden mBah Djangil. Riwayatnya adalah sebagai berikut :
Ada sebuah tonggak kayu yang berada di tepi jalan. Pada suatu waktu terjadi kecelakaan ialah adanya orang dan hewan yang kakinya terantuk kepada tonggak itu sampai jatuh dan menemui ajalnya.
Oleh karena letaknya menonjol (dalam bahasa Jawa “Njangil) maka tempat itu lalu dijadikan punden yang diberi nama mBah Djangil.
DESA – TANJUNG.
Desa Tanjung terjadi dari 2 dukuhan, ialah :
1. Dukuh Bendil.
2. Dukuh Kambingan.
Yang babad pertama ada 5 orang :
1. Pontjodrono – berasal dari Pacitan.
2. Kromomedjo – berasal dari Pacitan.
3. Tanikarso – berasal dari Kudus.
4. Nadikromo – berasal dari Solo.
5. Singokromo – berasal dari Magetan.
Waktu masih berwujud hutan banyak terdapat tanaman penjalin. Oleh sebab itu dukuh tersebut diberi nama Bendil.
Sesudah menjadi pekarangan dan keadaannya menyenangkan lalu diadakan pilihan ketua, sedang yang terpilih ialah Kromomedjo (no. 2 diantara 5 orang yang babad).
DUKUH KAMBINGAN.
Yang babad pertama 2 ialah :
1. Kertomedjo – berasal dari Pacitan.
2. Djowidjojo – berasal dari Pacitan.
3. Kromodjojo – berasal dari Magetan.
4. Singontani – berasal dari Magetan.
5. Karjo Mohamad – berasal dari Solo.
Dinamakan Kambingan karena ketika masih berwujud hutan banyak rumputnya WEDUSAN (Kambingan). Dukuh Bendil dan Kambingan kemudian dijadikan satu dan dinamakan desa Tanjung.
DESA – JOHO.
Desa Joho terdiri dari 3 pedukuhan ialah :
1. Joho
2. Ngrejo
3. Ngampel
Di sebut Joho karena pada waktu masih berwujud hutan di sana ada sebuah pohon besar yang dinamakan pohon Joho.
NGREJO
Waktu hutannya dibabad di tempat ini diketemukan sebuah mata air yang namanya belum dikenal. Oleh karena kebelutulan di dekatnya ada dua ekor angsa (banyak) yang warna bulunya merah, maka sumber tersebut diberi nama banyak-bang.
Hingga sekarang (sampai menjadi rejo) sumbernya masih besar dan dapat digunakan untuk mengairi sawah di sekitarnya. Oleh sebab itu lalu disebut dukuh Ngrejo (karena sudah menjadi ramai).
NGAMPEL.
Dahulu merupakan hutan bambu ampel.
Oleh karena itu setelah menjadi pedukuhan lalu diberi nama Ngampel.
DESA – DOMASAN.
Nama-nama yang babad pertama ialah :
1. Hirosemito.
2. Wonodrijo.
3. Singodipo.
4. Onggongali.
5. Wonokromo.
6. Nojontani.
7. Banjar dan teman-temannya.
Kelompok ini memiliki Wonodrijo sebagai ketuanya.
Daerah kecil tadi diberi nama DOMASAN.
Ceritanya adalah demikian : Pada jaman Belanda pernah diketemukan sebuah arca kecil mirip arca Betara Guru yang bertangan empat; berada di dalam rumah-rumahan yang bentuknya seperti joli dibuat daripada emas.
Barang kuno ini diserahkan kepada Pemerintah Belanda.
Kemudian diketemukan lagi sokodomas, tetapi tidak diserahkan melainkan ditanam kembali. Letak sokodomas itu di tengah-tengah desa dekat SD. Domasan dahulu. Setelah diadakan pilihan lurah namanya tetap disebut Desa Domasan.
Desa ini terdiri dari4 Pedukuhan ialah :
1. Dukuh Gambar letaknya di sebelah utara sokodomas.
2. Dukuh Sanan letaknya di sebelah timur sokodomas.
3. Kembangan letaknya di sebelah selatan sokodomas.
4. Kambingan letaknya di sebelah barat sokodomas.
Desa Domasan pernah masuk wilayah Asistenan Tambakrejo (Sumbergempol), dan sejak tahun : 1873 dimasukkan dalam wilayah Asistenan Kalidawir).
DESA PAKISAJI.
Desa ini terdiri dari 4 pedukuhan ialah :
1. Ngejring.
2. Bocor.
3. Jigang.
4. Jatirejo.
Masing-masing pedukuhan mempunyai riwayat sendiri-sendiri.
Dukuh Ngejring – Pada waktu babadnya terdapat banyak pohon jring (jengkol) yang kemudian dipergunakan untuk nama pedukuhan tersebut.
Dukuh Bocor – Di sini diketemukan banyak mata air yang seolah-olah keluar dari pada suatu wadah yang bocor.
Oleh karena itu pedukuhan tersebut dinamakan dukuh Bocor.
Dukuh Jigang – Di situ terdapat sebuah pohon besar. Diantara akarnya ada yang berbentuk seperti kaku manusia yang sedang jigang. Maka pedukuhan itu lalu diberi nama dukuh Jigang.
Dukuh Jatirejo – Nama Jatirejo dipergunakan seb agai nama pedukuhan, karena di tempat tersebut dahulu banyak sekali tanamannya pohon jati. Pedukuhan ini didirikan pada sekitar tahun 1800. Tiap-tiap pedukuhan ada ketuanya.
Dukuh Ngejring diketuai oleh : Krijolesono.
Dukuh Jigang diketuai oleh : Krijodrono.
Dukuh Bocor diketuai oleh : Towongso, sedang Jatirejo oleh Amadarjo yang akhirnya keempat orang tadi diakui sebagai Uceng pedukuhan.
Sebelum dibentuk Desa maka empat pedukuhan itu digabungkan dengan desa Karangtalun. Kemudian timbul suatu usul kepada Pemerintah agar empat pedukuhan ini dikeluarkan dari desa Karangtalun dan dibentuk suatu desa tersendiri.
Usul itu dikabulkan dan setelah dan setelah diadakan pilihan, maka orang bernama Kasanrejo telah terpilih sebagai Kepala Desa dan berkedudukan di Pakisaji karena di situ terdapat sebuah pohon pakis yang diaji-aji oleh penduduk.
DESA PAGERSARI.
Desa Pagersari terdiri dari 4 pedukuhan ialah :
1. Pagersari.
2. Tondo.
3. Ngumbo, dan
4. Genengan (Tawang).
Dukuh : Pagersari.
Pedukuhan ini dikelilingi (dipagari) oleh gunung-gunung dan rawa-rawa, sehingga hawanya sangat dingin. Mengingat letaknya daerah itu maka lalu diberi nama Pagersari.
Dukuh : Tondo
Nama pedukuhan ini diambilkan dari nama orang yang babad pertama, ialah : Tondo-suwarno.
Dukuh : Ngumbo
Nama Ngumbo berasal dari kata “amba” yang artinya luas.
Dahulu hutannya sangat lebat sampai yang babad merasa payah. Karena luasnya daerah tadi maka lalu dinamakan Ngumbo.
Dukuh : Genengan.
Bentuk daerahnya persegi panjang, dan disekelilingnya terdapat rawa-2 sehingga tempat ini merupakan suatu dataran yang tinggi (geneng). Oleh karena itu lalu diberi nama Genengan.
DESA : BANYU – URIP.
Desa Banyu – urip terdiri dari 2 padukuhan, ialah :
Banyu- urip dan Baran.
Desa tersebut sebelum tahun: 1968 masih berbentuk pedukuhan dan termasuk wilayah desa Kalibatur. Dengan adanya operasi pembinaan wilayah Tulungagung Selatan, maka lalu diadakan pemecahan.
Dukuh Banyu-urip dijadikan desa tersendiri dan mendapat tambahan wilayah dari desa Rejosari yang berdekatan letaknya. Sebabnya dinamakan Banyu-urip menurut cerita adalah sbb. :
Dahulu kala ketika masih berwujud hutan terdapat sebuah sungai yang airnya terus-menerus mengalir. Sungguhpun tempat ini letaknya di daerah pegunungan, namun bagi yang babad pertama tidak timbul rasa gelisah karena disitu terdapat air yang mereka namakan “Banyu panguripan” oleh sebab itu lalu tempat tersebut lalu diberi nama Banyu-urip.
Tetapi lama- kelamaan akibat tanah longsor sungai jadi tertutup tanah dan tidak kelihatan lagi. Pada tahun 1944 didekat bekas sungai tersebut pernah dibuatkan waduk tetapi karena derasnya air hujan terpaksa tanggulnya putung dan hingga sekarang belum diadakan perbaikan lagi.
Dukuh : Baran.
Ceritanya adalah demikian : waktu mmasih berupa hutan ada seseorang bernama : Dulkusen memang sengaja bara disitu untuk babad hutan. Kemudian datang lagi seseorang yang bernama : Wonokarso.
Begitu seterusnya berturut-2 datang beberapa orang lain berikut keluarganya yang juga untuk tujuan yang sama sehingga tempat tadi merupakan tempatnya orang bara. Setelah menjadi padukuhan lalu diberi nama Baran.
Didekatnya pedukuhan ini terdapat rawa yang disebut pula rawa Baran.
Dukuh : Tekik.
Dukuh Tekik terletak disekitar Kantor Perwakilan Kali batur. Dahulu ditempat ini tedapat sepotong pohon tekik besar yang letaknya di tepi jalan. Karena rindangnya maka banyak orang yang bepergian berhenti disitu untuk berteduh. Demikian pedukuhan itu lalu dinamakan dukuh Tekik.
DESA : N G U B A L A N.
Desa Ngubalan terdiri dari 2 padukuhan ialah :
Ngubalan.
Ngluweng.
Dukuh Ngubalan.
Kata Ngubalan diambil dari kata-2 bahasa Jawa “mobal” artinya : menyala.
Adapun riwayatnya, ketika diadakan pembabadan hutan untuk dijadikan suatu pedesaan, maka kayu-2 hasil pembabadan dikumpulkan pada suatu tempat terbuka.
Karena teriknya matahari kayu-2 yang suda kering tadi terbakar sehingga menimbulkan nyala api yang hebat.
Mengingat kejadian itu maka yang babad pedukuhan tadi diberi nama Ngubalan.
Disini terdapat pula sebuah kucur yang hingga sekarang terus memancarkan air dan dapat dipergunakan untuk mengairi sawah di desa Ngubalan.
Dukuh : Ngluweng.
Ditempat ini pada jaman dahulu terdapat sebuah sumber besar yang bentuknya seperti sumur (luweng).
Sumber tadi sangat besar manfaatnya bagi daerah tersebut. Karena selain dipergunakan untuk air minum juga untuk pertanian. Mengingat bentuknya seperti luweng, maka pedukuhan tadi lalu diberi nama Ngluweng.
DESA : SALAK KEMBANG.
Desa Salak Kembang terdiri dari 2 pedukuhan ialah :
Salakan dan Kembangan.
Dahulu keduanya merupakan kelurahan dan masing-2 ada kepala desanya. Oleh sebab daerahnya tidak luas maka lalu digabungkan menjadi satu, demikian pula mengenai namanya. Kalau dahulu bernama Salakan dan Kembangan lalu dirubah menjadi Salak Kembang.
Dukuh : Salakan.
Apa sebab disebut-sebut dukuh Salakan, karena semenjak dahulu disitu terdapat sebatang pohon salak yang hingga kini masih hidup dan tak ada orang yang berani menebangnya.
Yang menjadi cikal-bakalnya ialah : mBah Irodjojo, yang mana setelah meninggal dunia dimakamkan di dukuh tersebut.
DESA SALAK KEMBANG tidak memiliki djalan perempatan sebagaimana desa – desa lainnya.
DESA: J A B O N.
Pedukuhannya ada 3 ialah : Jabon, Genengan, dan Karangsono.
Adapun sebab-sebabnya dinamakan desa Jabon, karena waktu dahulu di tempat tersebut berdiri sebatang pohon jabon yang besar . Sedangkan dukuh Genengan ketika nasih berwujud hutan letaknya lebih tinggi daripada tanah sekitarnya (bahasa Jawa geneng). Adapun mengenai dukuh Karangsono, karena dahulu banyak pohonnya sono lalu diberi nama Karangsono.
DESA : W I N O N G.
Winong mula- mula adalah pedukuhan termasuk Desa Kresikan.
Setelah diadakan pemecahan wilayah maka lalu dijadikan desa tersendiri ( 15/11-1968 ), meliputi 6 padukuhan ialah :
Mongkrong, Branjang, Ngledok, Tumpak-Joho, Winong Ngambal.
Masing- Masing padukuhan dukuhan mempunyai riwayat sendiri- sendiri :
Dukuh : Mongkrong.
Pada jaman dibabadnya terdapat pohon kendal besar yang tumbuh ditepi sungai. Diantara akar-akarnya ada yang menjulur ke sungai. Dengan demikian maka pedukuhan tersebut dinamakan Mongkrong. (mengingat adanya akar yang menjulur ke sungai itu).
Dukuh : B r a n j a n g.
Sebabnya dinamakan Brajang, karena ketika masih berwujud banyak sekali rumputnya brajangan.
Dukuh : N g l e d o k.
Karena letak tempatnya rendah (ledok) maka dinamakan dukuh Ngledok.
Dukuh Tumpakjoho.
Diberi nama dukuh Tumpakjoho, karena letak daerahnya agak tinggi, nerupakan sebuah pucuk dan di atasnya tumbuh sebatang joho.
Dukuh : Ngambal.
Dahulu hutannya sangat lebat sehingga tidak sekaligus dapat dibabad, melainkan terpaksa berulang-ulang dikerjakan. Berulang-ulang yang dalam bahasa Jawa dikatakan “ambal- ambalan”. Oleh karena itu pedukuhan tersebut diberi nama Ngambal.
Dukuh : W i n o n g.
Nama Winong diambilkan dari nama sebatang pohon besar yang pada waktu dibabad terdapat di daerah tersebut.
DESA : SUKOREJO.
Desa Sukorejo terdiri dari 2 padukuhan ialah :
Sukorejo dan Kedungdowo. Nama Sukorejo diambilkan dari nama sebatang pohon ialah pohon suko. Adapun sebabnya diberi nama tadi karena ketika masih berwujud hutan disitu banyak tumbuh pohon suko. Yang babad pertama ialah Pak Sedokromo. Inilah yang memberikan nama Sukorejo.
Dukuh Kedungdowo.
Pedukuhan ini dibabad oleh orang bernama :
Redjowidjojo pada tahun 1825. Disitu ditemukan sebuah kolam yang memanjang.
Setelah merupakan padukuhan maka oleh Redjowidjojo tempat ini diberi nama Kedungdowo, mengingat ada kedungnya yang panjang.
DESA : REJOSARI.
Rejosari adalah nama baru. Dahulu orang menyebutnya desa Bibir. Adapun ceritanya sebagai berikut :
Ketika masih belum begitu ramai ada seorang wali yang singgah di sebuah rumah penduduk, karena kebetulan sedang hujan lebat. Kepada penghuni rumah itu berpesan bilamana nanti diadakan pemerintahan desa, tempat ini supaya disebut dengan Bibir.
Maka ketika sudah mencapai 60 rumah lalu diadakan pilihan Kepala Desa. Yang terpilih sebagai Kepala Desa pertama ialah Kartonadi. Penduduk desa ingat akan pesanan wali tersebut. Dan menurut keputusan desa itu diberi nama Bibir.
Kemudian penduduknya makin lama makin bertambah banyaknya desanya kelihatan maju.
Oleh Assisten Wedana diadakan peninjauan dan kemudian diadakan penggantian nama desa. Mengingat bahwa keadaanya sudah ramai atau dalam bahasa daerahnya rejo, maka desa itu dinamakan Rejosari. Desa Rejosari terdiri dari 6 padukuhan ialah :
Dukuh : Tumpakgedang.
Sebabnya diberi nama Tumpakgedang karena di tempat ini banyak orang datang dari ngare untuk berjualan pisang.
Dukuh : Lunggur- duwur.
Nama ini diambilkan dari letaknya daerah ialah disebuah lunggur yang tinggi.
Dukuh : Kalimenur.
Ketika masih bewujud hutan terdapat sebuah sungai yang ditepinya banyak tumbuh bunga menur.
Oleh sebab itu lalu dinamakan Kalimenur.
Dukuh : Kalilombok.
Dinamakan Kalilombok karena setelah pembukaan hutan pertama-tama yang ditanamnya oleh yang babad ialah tanaman lombok.
Dukuh : Tumpaknongko.
Nama ini dipergunakan sebagai nama padukuhan karena di sini banyak tanamannya pohon nangka.
DESA : KALIDAWIR.
Dahulu di tempat ini banyak sekali sungainya sehingga hubungan antar blok dilakukan menyeberangi sungai yang banyak persimpangannya. Dari banyaknya persimpangan ini maka desa itu disebut orang Kalidawir (kali yang banyak bercabang). Semula desa Kalidawir termasuk wilayah Blitar.
Kepala Desa yang pertama bernama : Pak Ronodipo bersal dari Lodoyo. Kalidawir mempunyai 6 padukuhan ialah :
Kalidawir
Nganggrek
Kalilumpang
Krandegan
Boto/ Genengan
Clangap / Ngrowogebang
Dukuh : Kalidawir.
Dahulu merupakan krajan (tempat Kepala Desa) tetapi kemudian lalu menjadi pedukuhan.
Dukuh : N g a n g g r e k.
Karena ketika babadnya banyak terdapat bunga angrek di tepi sungai maka pedukuhan ini lalu diberi nama Ngangrek.
Dukuh : Kalilumpang.
Nama Kalilumpang diambil dari keadaan daerah waktu dibabad, ialah di tengah-tengah sawah terdapat sebuah kedung yang bentuknya seperti lumping. Oleh sebab itu pedukuhan ini lalu disebut orang Kalilumpang.
Dukuh : Krandegan.
Ditempat ini terdapat sebuah gunung, terletak ditengah- tengah sawah yang dilingkari oleh sungai.
Bilamana musim penghujan dan timbul banjir, banyak carang-carang dan sangkrah- sangkrah yang tak dapat hanyut, kemudian terhenti (kandeg) disekitar gunung ini. Oleh sebab itu tadi dinamakan dukuh Krandegan.
Adapun gunungnya diberi nama gunung Kuncung.
Dukuh : Boto/ Genengan.
Daerah ini dahulu merupakan balong (tempat yang selalu ada airnya).
Disini banyak terdapat binatang Kancil.
Oleh sebab itu lalu dinamakan Balong Kancil.
Ditengah- tengah balongan tersebut. Tanahnya agak tinggi (geneng) dan bentuknya seperti batu merah (bata).
Hingga sekarang lalu dinamakan dukuh Boto/Genengan.
Dukuh: Clangap/ Ngrowogebang.
Sebabnya dinamakan dukuh Clangap/Rowogebang karena bila ingin mengadakan hubungan ketetangga pedukuhan harus melaui clangap-clangap/balong-balong dan rawa-rawa. Ditepinya rawa tersebut banyak tanamannya gebang. Oleh karena itu daerah ini dinamakan Clangap/ Ngrowogebang.
DESA : KALIBATUR.
Desa ini terdiri dari 6 pedukuhan ialah : Papar, Ngembes, Dawung, Banaran, Darungan, Kalibatur.
Apa sebab dinamakan Kalibatur, ada rentetan ceritanya ialah mengenai perjalanan seorang satriya. Demikianlah kisahnya :
Pada jaman dahulu ada seorang satriya yang sedang mengembara dari arah timur menuju ke barat. Disebelah Kalibatur ia berhenti untuk berbuang.
Setelah selesai, dicarinya air tetapi tidak ada sehingga terpaksa membersihkan dirinya dengan rumput (peper). Tempat ini lalu dinamakan Papar. Ia meneruskan perjalanannya menuju ke barat. Karena merasa lelah lalu beristirahat sambil mengeluarkan air mata (mbrebesmili).
Tempat dimana ia berhenti ini dinamakan Ngembes.
Selanjutnya ia berjalan terus dan karena terik matahari lalu berteduh di bawah pohon Dawung. Tempat dimana ia berteduh dinamakan dukuh Dawung.
Kemudian meneruskan perjalanan lagi membelok ke arah timur. Disitu banyak dataran tanah yang luas (banar). Oleh sebab itu lalu dinamakan dukuh Banaran.
Dari Banaran ia berbelok ke arah utara dan merasa bingung, dalam arti kedarung- darung karena tidak mengetahui jalannya lebih lanjut. Tempat ini diberi nama dukuh Darungan. Kemudian ia lalu berjalan menyusuri sungai. Tiba-tiba ia mendengar suara orang. Setelah naik kedaratan satriya ini mengatakan bahwa ia telah mendapatkan teman (batur) untuk bercakap-cakap. Tempat dimana ia menemukan batur ini dinamakan Kalibatur.
DESA : B E T A K.
Sebelum kecamatan Kalidawir dibentuk, desa Pagersari dan desa Njunjung (Kecamatan Sumbergempol) tergabung menjadi satu desa dengan Betak. Biamana mengadakan rapat, tempatnya adalah di Sanggrahan (Boyolangu).
Tiap- tiap ada pertemuan orang lalu masak-masak dan di desa Betak ini tempatnya menanak nasi (bahasa Jawa betak/adang). Oleh sebab itulah maka tempat tersebut dinamakan desa Betak.
Dukuh : Gondang.
Asal mula diberi nama Gondang karena disini dahulu terdapat sebatang phon gondang yang besar.
Dukuh : Karanglo.
Ketika masih berwujud hutan terdapat sebatang pohon lo besar dan disini ada pesareannya seorang bernama : Mbah Nggolo..
Dukuh : Manding.
Dahulu di sini terdapat pohon krandingan.
Untuk mudahnya orang menyebut manding dan dari kata-kata ini maka padukuhan tersebut diberi nama Manding.
Dukuh : Sambirejo.
Dahulu daerah tersebut merupakan hutan bambu yang umum disebut papringan. Setelah dibabad dan menjadi pedukuhan yang makin lama makin menjadi ramai (rejo) maka pedukuhan tersebut dinamakan Sambirejo.
Dukuh : Bonsari.
Kata- kata ini diambil dari asal mulanya pedukuhan yang ketika belum dibabadi merupakan kebonsaren. Hingga sekarang pedukuhan ini diberi nama KEBONSARI.
Demikianlah cerita orang mengenai riwayat terjadinya pedukuhan-pedukuhan disekitar daerah Kalidawir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar