Senin, 14 Maret 2016

Menapaki Lorong Waktu Lasem



Nama Lasem identik dengan kerajinan batiknya. Tapi siapa sangka, kota kecil di Rembang yang dilintasi Jalan Raya Pos (Grote Postweg) yang dibangun pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels itu menyimpan pesona sejarah dan budaya lintas masa.
Perjalanan menapaki setiap sudut Lasem bagaikan ekspedisi melintasi lorong waktu. Kota ini ternyata menyimpan sejarah sangat panjang dan budaya yang nyaris tak habis untuk digali.
Bangunan-bangunan tua berdiri kokoh memancarkan misteri, keramahan penduduk menjadi bumbu pemanis dan kuliner enak menjelma sebagai pelengkap suka cita.
Jalan utama Lasem dipenuhi oleh rumah-rumah kuno bergaya Belanda yang sebagian telah beralih fungsi. Namun, ketika menapaki jalan-jalan kecil ke perkampungan, Anda akan disambut rumah-rumah bertembok tinggi dengan cat-cat kusam dimakan zaman. Itulah kawasan Pecinan Lasem yang membuat kota kecamatan di Pesisir Utara Jawa itu dikenal dengan sebutan Tiongkok Kecil. Salah satu kampong Pecinan yang menyimpan bangunan-bangunan tua anggun adalah di Desa Karangturi. Di balik tembok-tembok tersebut berdiri rumah-rumah milik warga keturunan Tionghoa.
Sebagian besar warga keturunan Tionghoa tersebut merupakan perajin batik Lasem yang legendaris.
Atraksi utama Lasem lainnya adalah Kelenteng Cu An Kiong. Konon, ini adalah kelenteng tertua di Jawa yang dibangun pada 1447. Kelenteng ini kemudian direnovasi pada 1838 dan gapuranya dibangun pada 1910. Cu An Kiong adalah salah satu kelenteng terindah yang pernah ada. Kelenteng ini dibangun dengan cita rasa seni tinggi, dilengkapi ornamen berukiran rumit dan lantai dengan keramik indah.
Candu
Lasem juga menyimpan cerita tentang opium atau candu, di mana jejaknya bisa ditemukan di Omah Lawang Amba, milik Kapten Liem. Dulu Lasem merupakan salah satu pusat penyelundupan candu di Jawa. Di Omah Lawang tersebut pengunjung akan menjumpai lubang yang berujung di Sungai Lasem. Lewat lubang itulah candu disebarkan ke berbagai sudut Jawa.
Jangan lewatkan pula kunjungan ke pengrajin tradisional batik Lasem yang telah bertahan dari generasi ke generasi, salah satunya milik Bu Sutra di Karangturi. Para pengrajin di Lasem bertahan tetap menggeluti batik tulis meski harus bersaing dengan batik-batik cap dari berbagai daerah. Warna merah khas batik Lasem tak ada duanya di negeri ini. Namun, Lasem bukan melulu tentang bangunan tua dan batik. Kota ini juga menyimpan sejarah panjang.
Berdasarkan penelitian Balai arkeologi Yogyakarta, Lasem mempunyai 541 situs bersejarah. Peninggalan pusaka arkeologi di Lasem berasal dari zaman prasejarah, klasik (Hindu dan Budha), Islam, kolonial dan kemerdekaan. Penemuan kerangka manusia purba di Desa Leran dan Plawangan membuktikan peradaban Lasem telah berumur sangat tua.
Cerita lain dari Lasem adalah tentang akulturasi budaya Belanda, China dan Jawa. Kita belajar banyak tentang harmonisasi masyarakat Tionghoa dan Jawa di sana. Mereka bisa hidup rukun berdampingan tanpa riak berarti sejak berabad-abad lalu. Salah satu bukti nyata harmonisasi di sana adalah keberadaan patung Panji Margono, seorang tokoh dan pahlawan Lasem berdarah Jawa, di Kelenteng Gie Yong Bio, Lasem. Penghormatan ini jelas sangat luar biasa. Orang Tionghoa biasanya hanya memberi posisi istimewa kepada dewa atau leluhur mereka. Tapi Panji Margono berhasil mendobrak garis batas dan dianggap menjadi bagian tak terpisahkan dari komunitas Tionghoa di Lasem.
Setelah lelah mengeksplor Lasem, tak ada salahnya Anda mencicipi salah satu kuliner andalannya, Lontong Tuyuhan. Sepintas makanan ini mirip dengan opor ayam, namun kuahnya lebih encer dan segar. Menikmati kuliner ini akan terasa lebih afdol jika Anda berkunjung langsung ke sentranya di Desa Tuyuhan, yang terletak sekitar 5 km dari pusat kota Lasem.
Keunikan Warung Kopi Lelet di Lasem
Saat berada di Lasem, rasanya pantang melewatkan kunjungan ke warung kopi lelet. Nongkrong di warung kopi bukan melulu soal menikmati secangkir minuman, tapi juga sarana menyelami jati diri Lasem dan masyarakatnya.
Warung kopi lelet mudah dijumpai di sudut-sudut Lasem. Rata-rata setiap desa memiliki sekitar 5 warkop (warung kopi) atau jika ditotal jumlahnya mencapai lebih dari 100 buah.
Sebuah warung kopi lelet sederhana di Jalan Karangturi, Desa Karangturi, salah satu kawasan Pecinan di Lasem. Pemiliknya seorang keturunanan Tionghoa yang berpembawaan ramah.
Ciri khas kopi lelet Lasem terletak pada ampasnya.
Cita rasanya mungkin hampir sama dengan kopi-kopi daerah lain, apalagi buat orang yang bukan pecandu kopi . Keunikan kopi lelet baru terasa setelah menghabiskan tegukan terakhir. Ampas kopi lelet menjadi awal keunikan ala warung kopi Lasem.
Para penikmat kopi lelet kerap menggunakan ampas itu untuk menambah cita rasa rokok. Caranya dengan mengoleskan ampas kopi di batang rokok. Namun, pengolesannya tidak sembarangan karena biasanya dibentuk dengan pola batik. Konon, rokok yang diolesi ampas kopi ini cita rasanya bakal lebih sedap. Penasaran? Silahkan buktikan sendiri.
Fenomena rokok dan lukisan ampas kopi membuktikan budaya membatik memang sudah mengalir di nadi masyarakat Lasem. Batik Lasem kualitasnya tak perlu diragukan, pantas berdiri sejajar dengan batik dari Solo, Jogja maupun Pekalongan.
Namun, keistimewaan warung kopi lelet tak berhenti sampai di situ. warung kopi lelet memainkan peran penting dalam menjaga harmonisasi di Lasem. Di warung sederhana tersebut masyarakat Jawa dan Tionghoa berinteksi, bertukar kata dan berdialektika. Lewat interaksi intens, kerukunan antaretnis di Lasem pun terus terpelihara meski generasi terus berganti.
Mimpikan Lasem sebagai Heritage City
Semua hal besar berasal dari langkah kecil. Prinsip itu sepertinya cocok untuk menggambarkan impian besar yang kini tengah disemai masyarakat Lasem.
Warga Lasem membatik
Kecamatan di pesisir utara Jawa yang dikenal dengan julukan Tiongkok Kecil itu bermimpi menjadikan Lasem sebagai Kota Pusaka Dunia pertama di Indonesia. Forum Komunikasi Masyarakat Sejarah (Fokmas) Lasem dan Rembang Heritage Society merupakan motor dari impian besar tersebut. Para penggiatnya rela mencurahkan ide, pikiran, tenaga hingga dana untuk mengejar cita-cita Heritage City.
Untuk menggapai status Kota Pusaka Dunia, para motor Fokmas dan Rembang Heritage Society tak sekadar berpangku tangan. Kerja keras Fokmas dimulai dengan mengumpulkan data sejarah dan budaya Lasem, membangkitkan kembali kesenian rakyat, mengangkat batik Lasem dan menggandeng para tokoh masyarakat setempat.
Beberapa kegiatan juga sudah digelar, di antaranya jelajah pusaka Lasem yang diikuti masyarakat setempat dan luar kota. Mereka juga melakukan kampanye pelestarian pusaka lasem di Radio Maloka dan melakukan pendampingan terhadap mahasiswa, peneliti dan penulis yang riset di Lasem. Luar biasa!
Lasem berani bermimpi tinggi karena memiliki potensi heritage yang lengkap. Secara arkeologi Lasem sedang dalam proses menjadi Kawasan Cagar Budaya. Itu akan menjadi salah satu modal Lasem untuk menjadi Kota Pusaka Dunia.
Di tingkat nasional, mereka bermitra jejaring dengan BPPI Badan Pelestarian Pusaka Indonesia dan Organisasi-organisasi Pelestari di Seluruh Indonesia.
“Jadi kota pusaka dunia bukan untuk menarik wisatawan, tetapi pengelolaan kawasan heritage agar tetap lestari dan meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya lewat pelestarian dan pengembangan. Wisatawan itu hanya efek lanjut,”
Langkah masyarakat Lasem meraih impiannya jelas masih jauh dari garis finis. Butuh dukungan penuh dari pemerintah setempat untuk meringankan langkah. Tapi setidaknya mereka sudah berani berjuang. Semoga suatu saat nanti mimpi itu benar-benar terelasasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar