Rabu, 30 Maret 2016

Trunojoyo

Raden Trunojoyo, sering pula ditulis Trunajaya, atau gelarnya Panembahan Maduretno (Madura, k.1649 - Payak, Bantul, 2 Januari 1680) adalah seorang bangsawan Madura yang pernah melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Amangkurat I dan Amangkurat II dari Mataram. Pasukannya yang bermarkas di Kediri pernah menyerang dan berhasil menjarah keraton Mataram tahun 1677, yang mengakibatkan Amangkurat I melarikan diri dan meninggal dalam pelariannya. Trunojoyo akhirnya berhasil dikalahkan Mataram dengan bantuan dari VOC pada penghujung tahun 1679.
Penaklukan Madura
Pada tahun 1624 Sultan Agung menaklukkan pulau Madura. Raden Prasena, salah seorang bangsawan Madura, ditawan dan dibawa ke Mataram. Karena ketampanan dan kelakuannya yang baik, Sultan Agung menyukai Raden Prasena. Ia kemudian diangkat menjadi menantu dan dijadikan penguasa bawahan Mataram untuk wilayah Madura Barat, dengan gelar Panembahan Cakraningrat atau Cakraningrat I. Cakraningrat I lebih banyak berada di Mataram daripada memerintah di Madura. Anak Cakraningrat dari selir, bernama Raden Demang Melayakusuma, menjalankan pemerintahan sehari-hari di Madura Barat. Mereka berdua sekaligus juga menjadi panglima perang bagi Mataram.
Setelah Sultan Agung wafat, pemerintahan Mataram dipegang oleh Amangkurat I, yang memerintah dengan keras dan menjalin persekutuan dengan VOC. Hal ini menimbulkan gelombang ketidak-puasan pada kerabat istana dan para ulama, yang ditindak dengan tegas oleh Amangkurat I. Pertentangan yang sedemikian hebat antara Amangkurat I dan para ulama bahkan akhirnya berujung pada penangkapan, sehingga banyak ulama dan santri dari wilayah kekuasaan Mataram dihukum mati.
Pangeran Alit, adik Amangkurat I sendiri pada tahun 1656 melakukan pemberontakan. Cakraningrat I dan Demang Melayakusuma diutus untuk memadamkan pemberontakan berhasil dalam tugasnya, akan tetapi keduanya tewas dan dimakamkan di pemakaman Mataram di Imogiri. Penguasaan Madura kemudian dipegang oleh Raden Undagan, adik Melayakusuma yang kemudian bergelar Panembahan Cakraningrat II. Sebagaimana ayahnya, Cakraningrat II juga lebih banyak berada di Mataram daripada memerintah di Madura.
Pemberontakan Trunojoyo
Ketidakpuasan terhadap Amangkurat I juga dirasakan putra mahkota yang bergelar Pangeran Adipati Anom. Namun Adipati Anom tidak berani memberontak secara terang-terangan. Diam-diam ia meminta bantuan Raden Kajoran alias Panembahan Rama, yang merupakan ulama dan termasuk kerabat istana Mataram. Raden Kajoran kemudian memperkenalkan menantunya, yaitu Trunojoyo putra Raden Demang Melayakusuma sebagai alat pemberontakan Adipati Anom.
Trunojoyo dengan cepat berhasil membentuk laskar, yang berasal dari rakyat Madura yang tidak menyukai penjajahan Mataram. Pemberontakan Trunojoyo diawali dengan penculikan Cakraningrat II, yang kemudian diasingkannya ke Lodaya, Kediri. Tahun 1674 Trunojoyo berhasil merebut kekuasaan di Madura, dia memproklamirkan diri sebagai raja merdeka di Madura barat, dan merasa dirinya sejajar dengan penguasa Mataram. Pemberontakan ini diperkirakan mendapat dukungan dari rakyat Madura, karena Cakraningrat II dianggap telah mengabaikan pemerintahan.
Laskar Madura pimpinan Trunojoyo, kemudian juga bekerja sama Karaeng Galesong, pemimpin kelompok pelarian warga Makassar pendukung Sultan Hasanuddin yang telah dikalahkan VOC. Kelompok tersebut berpusat di Demung, Panarukan. Mereka setuju untuk mendukung Trunojoyo memerangi Amangkurat I dan Mataram yang bekerja sama dengan VOC. Trunojoyo bahkan mengawinkan putrinya dengan putra Karaeng Galesong untuk mempererat hubungan mereka. Selain itu, Trunojoyo juga mendapat dukungan dari Panembahan Giri dari Surabaya yang juga tidak menyukai Amangkurat I karena tindakannya terhadap para ulama penentangnya.
Di bawah pimpinan Trunojoyo, pasukan gabungan orang-orang Madura, Makassar, dan Surabaya berhasil mendesak pasukan Amangkurat I. Kemenangan demi kemenangan atas pasukan Amangkurat I menimbulkan perselisihan antara Trunojoyo dan Adipati Anom. Trunojoyo diperkirakan tidak bersedia menyerahkan kepemimpinannya kepada Adipati Anom. Pasukan Trunojoyo bahkan berhasil mengalahkan pasukan Mataram di bawah pimpinan Adipati Anom yang berbalik mendukung ayahnya pada bulan Oktober 1676. Tanpa diduga, Trunojoyo berhasil menyerbu ibukota Mataram, Plered. Amangkurat I terpaksa melarikan diri dari keratonnya dan berusaha menyingkir ke arah barat, akan tetapi kesehatannya mengalami kemunduran. Setelah terdesak ke Wonoyoso, ia akhirnya meninggal di Tegal dan dimakamkan di suatu tempat yang bernama Tegal Arum. Sesudahnya, Susuhunan Amangkurat I kemudian juga dikenal dengan julukan Sunan Tegal Arum. Adipati Anom dinobatkan menjadi Amangkurat II, dan Mataram secara resmi menandatangani persekutuan dengan VOC untuk melawan Trunojoyo. Persekutuan ini dikenal dengan nama Perjanjian Jepara (September 1677) yang isinya Sultan Amangkurat II Raja Mataram harus menyerahkan pesisir Utara Jawa jika VOC membantu memenangkan terhadap pemberontakan Trunojoyo.
Trunojoyo yang setelah kemenangannya bergelar Panembahan Maduretno, kemudian mendirikan pemerintahannya sendiri. Saat itu hampir seluruh wilayah pesisir Jawa sudah jatuh ke tangan Trunajaya, meskipun wilayah pedalaman masih banyak yang setia kepada Mataram. VOC sendiri pernah mencoba menawarkan perdamaian, dan meminta Trunojoyo agar datang secara pribadi ke benteng VOC di Danareja. Trunojoyo menolak tawaran tersebut.
Kekalahan oleh VOC
Setelah usaha perdamaian tidak membawa hasil, VOC di bawah pimpinan Gubernur Jendral Cornelis Speelman akhirnya memusatkan kekuatannnya untuk menaklukkan perlawanan Trunojoyo. Di laut, VOC mengerahkan pasukan Bugis di bawah pimpinan Aru Palakka dari Bone untuk mendukung peperangan laut melawan pasukan Karaeng Galesong; dan mengerahkan pasukan Maluku di bawah pimpinan Kapitan Jonker untuk melakukan serangan darat besar-besaran bersama pasukan Amangkurat II.
Pada April 1677, Speelman bersama pasukan VOC berangkat untuk menyerang Surabaya dan berhasil menguasainya. Speelman yang memimpin pasukan gabungan berkekuatan sekitar 1.500 orang berhasil terus mendesak Trunojoyo. Benteng Trunojoyo sedikit demi sedikit dapat dikuasai oleh VOC. Akhirnya Trunojoyo dapat dikepung, dan menyerah di lereng Gunung Kelud pada tanggal 27 Desember 1679 kepada Kapitan Jonker. Trunojoyo kemudian diserahkan kepada Amangkurat II yang berada di Payak, Bantul. Pada 2 Januari 1680, Amangkurat II menghukum mati Trunojoyo.
Keadaan sesudahnya
Dengan padamnya pemberontakan Trunojoyo, Amangkurat II memindah kraton Plered yang sudah ambruk ke Kartasura. Mataram berhutang biaya peperangan yang sedemikian besarnya kepada VOC, sehingga akhirnya kota-kota pelabuhan di pesisir utara Jawa diserahkan sebagai bayarannya kepada VOC. Cakraningrat II juga diangkat kembali oleh VOC sebagai penguasa di Madura, dan sejak saat itu VOC pun terlibat dalam penentuan suksesi dan kekuasaan di Madura.
Referensi
Graaf, H.J. de. 1976 [1952]. Capture and death of Raden Truna Jaya, December 1679 - January 1680. In: Islamic States in Java 1500-1700, Th. Pigeaud & H.J. de Graff, 82-84. Verhandelingen van het KITLV 70. The Hague: Martinus Nijhoff.
( wikipedia )
==========
Kisah lain dari blog Lontar Madura
Berbicara tentang perjuangan Pangeran Trunojoyo atau Raden Nila Prawata, pahlawan dari Madura ini tidaklah lengkap kiranya kalau kita tidak melihat upaya-upaya Sultan Agung dari Kerajaan Mataram dalam memperluas pengaruhnya dan mempersatukan kerajaan-kerajaan di Jawa dan Madura untuk bersatu-padu melawan penjajahan kompeni Belanda pada saat itu.
Tahun 1624, Panembahan Kyai Djuru Kiting selaku panglima pasukan Mataram, dengan kekuatan pasukan berjumlah 50.000 orang, telah berhasil mematahkan pasukan Kraton Arosbaya – Madura yang berkekuatan hanya 2.000 orang.
Dengan bijaksana, Sultan Agung memerintahkan panglimanya Kyai Djuru Kiting, memboyong Raden Praseno, putra Pangeran Tengah (Arosbaya) yang pada waktu itu masih dibawah umur ke Kraton Mataram.
Setelah dewasa Raden Praseno dinikahkan dengan adik dari Sultan Agung sebagai Permaisuri I dan diijinkan kembali ke Madura untuk memimpin Madura dengan gelar: “Pangeran Cakraningrat I” (1624 – 1648) dimana seluruh Madura berada dibawah pimpinannya dengan tetap tunduk dan patuh kepada kekuasaan kerajaan Mataram Sultan Agung di Jawa.
Dari beberapa istri yang lain, Pangeran Cakraningrat I mempunyai 11 (sebelas) orang putra dan putri, dimana putra ke-3 bernama R. Demang Mloyo Kusumo (ibunya Putri Sumenep).
[Buku “Sejarah Caranya Pemerintahan Daerah-daerah Kepulauan Madura dengan hubungannya” oleh Zainal Fattah, Bupati Pamekasan – hal: 201].
R. Demang Mloyo Kusumo atau Raden Maluyo (dalam buku “Raden Trunojoyo, Panembaham Maduratna, Pahlawan Indonesia” oleh Raden Soenarto Hadiwijoyo) adalah ayah dari Raden Trunojoyo.
Masa kecil Pangeran Trunojoyo dididik dan dibesarkan di lingkungan Kraton Mataram yang pada waktu itu pimpinan kerajaan sudah beralih kepada putra Sultan Agung, yaitu: Susuhunan Amangkurat I.
Tahun 1648, terjadi peristiwa menyedihkan di Kraton Mataram (masa pemerintahan Susuhunan Amangkurat I) perselisihan keluarga yang menyebabkan jatuh korban anggota keluarga kerajaan Mataram, yaitu:
Pangeran Cakraningrat I (Raden Praseno) sehingga disebut Pangeran Siding Magiri (Sidho Hing Magiri).
Raden Ario Atmojonegoro putra pertama Pangeran Cakraningrat I.
Pangeran Ario atau Pangeran Alit, adik Susuhunan Amangkurat I dan
Raden Demang Mloyo Kusumo, ayah Pangeran Trunojoyo.
Terjadi perubahan kekuasan di Madura Raden Undakan putra ke-2 Pangeran Cakraningrat I dinaikkan tahta kerajaan dengan gelar: “Pangeran Cakraningrat II” (1648 – 1707).
Pangeran Cakraningrat II dalam melaksanakan pemerintah kerajaannya ternyata tidak sebijaksana ayahandanya, Pangeran Cakraningrat I. Kekuasaan pemerintahan Madura pada waktu itu hanya diserahkan kepada bawahan-bawahannya yang ternyata hanya melakukan penekanan-penekanan kepada rakyat yang dipimpinnya, sementara Raja Cakraningrat II, terlalu sering berada di Kraton Mataram.
Pangeran Trunojoyo tumbuh sebagai seorang pemuda yang taat kepada agamanya (Islam) dan tidak suka melihat ketidak-adilan yang terjadi baik di Madura ataupun di Jawa.
Beliau segera kembali ke Madura dimana pengaruh kekuasaan Pangeran Cakraningrat II (pamannya) semakin tidak mendapat simpati dari rakyat seluruh Madura. Mengakui kepemimpinan Pangeran Trunojoyo dari Bangkalan sampai dengan Sumenep dan bergelar: “Panembahan Madura”.
Dengan diidampingi Macan Wulung menantu dari Panembahan Sumenep, Pangeran Trunojoyo mulai menyusun perlawanan melawan kompeni Belanda yang dinamakan “Perang Trunojoyo” berlangsung dari tahun 1677 – 1680.
[Buku “Perlawanan Penguasa Madura atas Hegemoni Jawa” oleh: Prof. Drs. H. Aminuddin Kasdi – hal: 146].
Pasukan Pangeran Trunojoyo bergabung dengan pelaut-pelaut Makassar dibawah pimpinan Karaèng Galesung (yang pada akhirnya menjadi menantu Pangeran Trunojoyo). Bantuan dari Panembahan Giri merupakan satu kekuatan yang sangat ditakuti oleh kompeni Belanda.
Tanggal 13 Oktober 1676, terjadi pertempuran sengit di Gegodok antara pasukan Pangeran Trunojoyo dan pasukan Mataram yang dipimpin oleh Adipati Anom. Dalam perang dahsyat ini telah gugur pimpinan pasukan Mataram, yaitu: Pangeran Purboyo.
Satu demi satu daerah kekuasaan kerajaan Mataram berhasil ditaklukkan pasukan Pangeran Trunojoyo.
Sementara itu Susuhunan Amangkurat I sangat bersedih atas kekalahan itu, pasukan Mataram yang dipimpin calon Putra Mahkota Kerajaan Mataram tak berdaya menghadapi pasukan Pangeran Trunojoyo.
Kompeni Belanda mulai turun tangan mencampuri urusan karena kalau kerajaan Mataram ditaklukkan Pangeran Trunojoyo berarti kompeni Belanda tidak akan punya pengaruh lagi di tanah Jawa.
Cornelis Speelman, pada tanggal 29 Desember 1676 berangkat dari Betawi dengan 5 kapal perang dan 1.900 orang pasukan gabungan dari Jepara menyerbu Surabaya. Perang terjadi antara pasukan Pangeran Trunojoyo dan pasukan kompeni Belanda, walaupun akhirnya Pangeran Trunojoyo harus mundur ke Kediri. Sementara pasukan kompeni Belanda terus mendesak ke Madura ke pusat cadangan pasukan Pangeran Trunojoyo, kompeni Belanda berhasil menaklukkan pasukan cadangan Pangeran Trunojoyo di Madura, tapi pada lain pihak pasukan Pangeran Trunojoyo berhasil menduduki Kraton Kartasura.
Jatuhnya ibu kota Mataram, karena tidak ada dukungan sama sekali kepada Susuhunan Amangkurat I, bahkan dari para Pangeran dan Bangsawan Kraton Kartasura.
Dalam keadaan sakit, Susuhunan Amangkurat I terpaksa harus mengungsi dari Istana didampingi putranya Adipati Anom.
Di desa Tegal Wangi, akhirnya Susuhunan Amangkurat I mangkat, jenasahnya dikebumikan di desa itu, sehingga disebut “Susuhunan Tegal Wangi” tapi sebelum mangkat, beliau masih berkesempatan menobatkan putranya menjadi penggantinya dengan gelar: “Susuhunan Amangkurat II”.
Secara singkat dipaparkan bahwa Kraton Mataram sepeninggal Sultan Agung, pengganti beliau baik itu Susuhunan Amangkurat I ataupun Susuhunan Amangkurat II tidak dapat menunjukkan wibawa Kraton Mataram sebagai kerajaan besar di Jawa.
Sedikit demi sedikit, kompeni Belanda mulai bertipu-muslihat untuk memperkecil pengaruh kekuasaan Mataram, sementara Pemimpin Kraton (Susuhunan Amangkurat II) tidak peduli akan keadaan kerajaan Mataram dan rakyatnya. Wibawa kerajaan Mataram dari hari ke hari mulai suram, akibat ulah Rajanya yang menjalin hubungan dengan kompeni Belanda.
Setiap perjanjian-perjanjian kontrak yang dilakukan Kerajaan Mataram dengan kompeni Belanda, selalu pihak Kerajaan Mataram yang dirugikan.
Cornelis Speelman, dari pihak kompeni Belanda menawarkan diri untuk ikut memadamkan perlawanan Pangeran Trunojoyo yang sudah tentu nantinya meminta imbalan jasa kepada Kerajaan Mataram.
2 (dua) macam perjanjian berupa kontrak tanggal 19 dan 20 Oktober 1677 digadaikannya pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Mataram senilai 310.000 uang Spanyol dan biaya-biaya perang harus dibayar lunas yang didapat dari pelabuhan-pelabuhan itu. Yang kedua, daerah-daerah bawahan Kerajaan Mataram seperti Karawang dan Pamanukan dialihkan penguasaannya kepada kompeni Belanda.
Di seluruh wilayah kerajaan Mataram, perdagangan candu dan bahan pakaian menjadi hak monopoli kompeni Belanda.
Pertempuran tetap berlangsung dengan kemenangan-kemenangan yang selalu ada pada pihak Pangeran Trunojoyo.
Tanggal 04 Januari 1678, Cornelis Speelman mencaplok Semarang, Kaligawe dan sekitarnya dengan ijin dari Susuhunan Amangkurat II.
Bulan Agustus 1678, dibentuk pasukan gabungan, tentara Belanda, pasukan Jakarta, Bugis dan Ambon ditambah pasukan Mataram dengan jumlah besar dipimpin oleh Anthonie Hurdt, anggota Raad van Indie menyerbu Kediri, pusat pertahanan Pangeran Trunojoyo.
Pertempuran berkobar dengan dahsyatnya, setiap jengkal tanah Kediri, dipertahankan mati-matian oleh pasukan Pangeran Trunojoyo, akhirnya 25 Nopember 1678 Kediri jatuh ketangan kompeni Belanda.
Kompeni Belanda berhasil mengambil kembali Mahkota Majapahit dan harta-harta yang lain dari Pangeran Trunojoyo ketika menaklukkan Kartasura.
Sangat disayangkan bahwa dalam perjalanan perjuangan Pangeran Trunojoyo, ternyata terjadi konflik intern dalam pasukan Pangeran Trunojoyo, Angkatan Laut Makassar memisahkan diri dari pasukan Pangeran Trunojoyo.
Dari peristiwa jatuhnya Kediri, Pangeran Trunojoyo ke Blitar dan akhirnya menuju Malang dalam kesulitan mencari tempat pertahanan baru. Pasukan Pangeran Trunojoyo mengalami kerugian tewasnya 400 orang prajurit akibat penyakit dan kekurangan bahan makanan.
Lebih-lebih lagi, pengiriman bahan bantuan makanan berupa 8 perahu bahan makanan dari Madura untuk pasukan Pangeran Trunojoyo jatuh ketangan musuh.
Tekanan dan kepungan kompeni Belanda kepada pasukan Pangeran Trunojoyo yang sudah makin melemah karena kekurangan bahan pangan dan serangan penyakit semakin berat. Beliau terpaksa membawa memutar pasukannya berpindah ke Batu. Dalam keadaan prihatin, Pangeran Trunojoyo tetap berhati teguh melanjutkan perjuangan beliau dan dukungan dari daerah-daerah seperti Kediri, Ponorogo dan Kertosono tetap berpihak kepada Pangeran Trunojoyo dan pasukannya 500 orang prajurit Madura dikirim melalui Wirosobo ke Malang untuk memperkuat barisan Pangeran Trunojoyo.
Suatu goncangan bathin kembali menguji sang Pangeran ketika di Batu istri beliau meninggal dunia karena terserang penyakit menyusul kemudian satu-satunya putra lelakinya juga berpulang ke Rahmatullah.
Dari Batu beliau beliau beserta pasukan bergeser mengatur strategi pertahanan ke Ngantang, sementara semakin lama jumlah kekuatan pasukan semakin berkurang, kekurangan bahan pangan dan serangan penyakit.
Masih beruntung alam dan medan pegunungan serta rimba di Ngantang menghambat laju tekanan pasukan kompeni Belanda.
Kompeni Belanda melakukan sistem pengepungan pagar betis daerah pertahanan pasukan Pangeran Trunojoyo dikepung dan diisolir sehingga pada tanggal 15 Desember 1679 sejumlah besar para pelaut Makassar yang bergabung ke pasukan Pangeran Trunojoyo menyerahkan diri kepada kompeni Belanda.
Berbagai keadaan yang berat, tidak membuat Pangeran Trunojoyo dan pasukannya menyerah. Pahlawan tangguh dan pilih tanding ini melakukan perang gerilya, bergerak pindah ketempat yang lebih sulit dicapai oleh tentara kompeni Belanda dibawah pimpinan Couper.
Untuk penyegaran, kompeni Belanda mengganti pimpinan pasukannya, yaitu: Kapten Jonker. 5 hari setelah sebagian besar pelaut-pelaut Makassar menyerah maka pada tanggal 20 Desember 1679 beberapa ratus orang Madura dan Makassar diantaranya para wanita dan beberapa ekor kuda turun dari lereng gunung dan segera ditangkap pasukan kompeni Belanda pimpinan Kapten Jonker.
Dengan mengorek keterangan dari para tawanan ini, Kapten Jonker berhasil mengepung pertahanan terakhir Pangeran Trunojoyo dan sisa pasukannya di gunung Limbangan itu terjadi pada tanggal 26 Desember 1679.
Pahlawan Besar Pangeran Trunojoyo dengan terpaksa harus menyerah dan kedua tangan beliau diikat dengan Cinde Sutera dan pada hari Selasa Kliwon, tanggal 2 Januari 1680 disekitar tapal batas Kediri beliau gugur sebagai kusuma bangsa ditangan iparnya sendiri (Susuhunan Amangkurat II) dengan sebilah keris yang ditusukkan tanpa perlawanan.
Perang Trunojoyo, melawan kompeni Belanda boleh berakhir 327 tahun yang lalu tapi semangat juang yang tinggi dan cita-cita tak berkompromi dengan penjajah (bahkan orang-orang asing) yang merugikan bangsa Indonesia tak seharusnya pudar.
Ada beberapa hal penting yang harus diketahui :
Pangeran Trunojoyo mengakhiri perlawanan kepada kompeni Belanda karena pertimbangan-pertimbangan yang dijanjikan oleh Pangeran Cakraningrat II (pamannya).
Pangeran Trunojoyo menyerahkan diri kepada Susuhunan Amangkurat II bukan kepada kompeni Belanda.

GOA AKBAR TUBAN

“Allahu Akbar,” kata Sunan Bonang, begitu melihat Goa Akbar, Tuban, +/-500 tahun lalu. Sejak saat itulah, goa yang terletak di tengah Kota Tuban itu disebut Goa Akbar. Adanya pohon Abar, yaitu pohon yang hidup di dekat pintu masuk goa juga menyebabkan sejak dulu masyarakat setempat menyebutnya Goa Abar atau Ngabar. Kata “Akbar” itu kini dipergunakan Pemerintah Kabupaten Tuban sebagai slogannya. Akbar menjadi akronim dari Aman, Kreatif, Bersih, Asri, dan Rapi.
Namun, ada juga sumber yang menyebutkan kebalikannya, akronim itu muncul terlebih dahulu, baru setelah mulai dipugar tahun 1996, goa itu diberi nama Goa Akbar. Goa Akbar memiliki berbagai nilai religius. Diceritakan, kedatangan Sunan Bonang melihat Goa Akbar itu karena ia diajak oleh Sunan Kalijogo yang pada saat itu masih bernama RM Sahid.
Menurut cerita di relief tempat wisata Goa Akbar yang dipugar tahun 1996, RM Sahid yang adalah putra Bupati Tuban ke-9 yang bernama Wilwotikto diusir dari rumah karena berkelakuan buruk, dan disebut dengan nama Brandal Lokojoyo. Dalam pertemuannya dengan Sunan Bonang di Kali Sambung, Brandal Lokojoyo mengatakan bahwa rumahnya di goa.
Alkisah, setelah diusir dari rumah, RM Sahid memang tinggal di Goa Akbar. Perjalanan religi RM Sahid alias Brandal Lokojoyo kemudian membawanya ke jalan yang benar, dan terakhir menjadi Sunan Kalijogo. Beberapa tempat di Goa Akbar dipercaya sebagai tempat Sunan Kalijogo dan Sunan Bonang pernah bertapa. Seperti ceruk yang diberi nama Pasepen Koro Sinandhi, yaitu tempat pintu yang dirahasiakan.
Ceruk ini sangat kecil pintunya. Untuk masuk ke dalamnya, orang dewasa harus merangkak atau sekurangnya membungkuk. Oleh masyarakat sekitar dipercaya prosesi membungkuk ini memiliki makna filosofis yang tinggi. Seperti yang disampaikan M Muchlish, koordinator pemandu wisata Goa Akbar: “Kalau para wali mau, tentu mudah memperlebar pintu masuknya. Tetapi, dengan harus membungkuk itu, kita diingatkan bahwa di depan mata Allah semua harus merendahkan diri.”
***
GOA yang terletak di belakang Pasar Baru Tuban ini juga memiliki banyak legenda yang dipadukan dengan kepercayaan dan perkiraan sejarah. Seperti dua buah batu di mushala di sisi kiri pintu keluar goa. Jika agak diperhatikan, kedua patung ini mirip dengan bentuk singa. “Dipercaya, kedua singa ini diperintahkan untuk menjaga goa,” kata Muchlish yang pernah menjadi anggota DPRD Tuban ini. Sebuah ruang yang sangat luas di dalam goa disebut sebagai Paseban Para Wali, yaitu tempat para wali menyampaikan ajarannya. Menurut Muchlish, di tempat itu ke-9 wali pernah berkumpul.
Hal ini harus ditelaah lebih lanjut, mengingat Wali Songo hidup tidak persis pada zaman yang sama. Namun demikian, Paseban Para Wali itu memang mirip ruang pertemuan. Adanya lubang-lubang di langit-langit goa hingga cahaya matahari masuk dalam bentuk jalur cahaya yang jelas. Stalaktit dan stalagmit juga seakan menjadi hiasan ruangan. Itu ditambah dengan adanya batu-batu besar yang terletak di bagian depan ruang, seakan menjadi podium bagi pembicara.
Sementara itu, ratusan kelelawar bertengger di langit-langit Paseban Para Wali. Sebuah batu yang disebut Gamping Watu Nogo dipercaya sebagai tempat pertapaan Sunan Kalijogo. Di bawah batu yang menjorok ke depan itu terdapat kolam. Muchlish menyatakan, terkadang kolam itu bergolak dan mengeluarkan asap, seakan ada dua ekor naga di dalamnya. Di pojok mushala yang sudah menghadap ke arah kiblat tersebut, juga terdapat sebuah ceruk yang diberi lampu berwarna merah.
Menurut cerita, salah satu sunan yang juga bertapa di Goa Akbar, Sunan Bejagung, sering “hilang” dengan menggunakan ceruk itu. Menurut cerita rakyat, Sunan Bejagung awalnya adalah petani biasa yang menanam jagung. Tetapi, ia memiliki kesaktian yang luar biasa. Tiap-tiap siang ia “hilang”. Diduga, pada saat “hilangnya” itu ia telah berada di Mekah untuk membantu menyalakan pelita. “Mungkin cerita itu susah dipercaya, tetapi namanya juga kepercayaan,” katanya.
Goa ini juga memiliki sumber air alami. Sumber air yang diberi nama Kedung Tirta Agung tersebut, menurut Muchlish, baru airnya deras setelah tahun 1999, ketika bupati mengadakan syukuran di dekat sumber mata air tersebut. Dengan menggunakan ayam hitam, di malam takbiran, air pun mengucur deras. Hingga kini, air tersebut dipandang memiliki khasiat, baik untuk kesehatan maupun untuk kekuatan. “Pernah ada padepokan silat dari Pati datang ke sini khusus untuk mengambil air Kedung Tirta Agung,” kata Muchlish.
***
MASIH banyak lorong yang belum dieksplorasi di Goa Akbar ini. Wajar saja jika Tuban digelari Kota Goa. Apalagi dengan struktur tanah yang banyak mengandung kapur, tidak heran juga jika goa-goa di Tuban ini memiliki stalaktit dan stalagmit yang indah. Belum dieksplorasinya lorong-lorong di Goa Akbar ini juga menyisakan cerita tersendiri.
Seperti Lorong Hawan Samudra. Lorong ini dipercaya berakhir di Pantai Utara Tuban. Kira-kira 500-800 meter setelah memasuki lorong ini, akan ditemukan air. Menurut cerita, lorong itulah yang digunakan untuk mengejar musuh kerajaan yang lari ke laut. Sementara lorong lainnya berujung pada Goa Ngerong di Kecamatan Rengel.
Legenda ini bisa saja memiliki nilai kebenaran, mengingat ditemukannya Prasasti Malenga dan Prasasti Banjaran yang bertahun 1052. Kedua prasasti itu ditemukan di Rengel, dan karena itu diduga Rengel sempat menjadi pusat pemerintahan saat itu. Sebuah lorong juga dianggap berhubungan dengan sumber air Bektiharjo, yaitu tempat yang menurut buku 700 Tahun Tuban yang disusun oleh R Soeparmo, adalah salah satu tempat asal usul Tuban. Yaitu ketika Raden Arya Dandang Miring membuka hutan bernama Papringan dan keluar air, sehingga disebut Tuban, atau Metu Banyu.
***
MENURUT penelitian arkeologi, diperkirakan Goa Akbar sudah berusia lebih dari 20 juta tahun. Ditemukannya fosil binatang laut seperti kerang di batu-batu dan dinding goa itu menguatkan posisi Goa Akbar sebagai goa fosil.
Hingga kini, fosil-fosil di batu tersebut dapat dilihat dengan mata telanjang karena memang tampak jelas. Sebagai tempat wisata, pengelolaan Goa Akbar cukup dapat diacungi jempol. Sejak dari atas, sudah tampak keseriusan dari pihak pengelola.
Di dalam goa juga disediakan jalur dari paving block yang dibatasi oleh pagar kuning agar pengunjung tidak sampai mengeksplorasi sendiri. Di berbagai tempat dipasang lampu-lampu warna-warni yang walau kurang bisa menunjukkan tekstur goa, namun cukup membuat suasana nyaman.
Jika diurut-urutkan dari berbagai legenda, sejarah, dan kepercayaan itu, seakan-akan Goa Akbar adalah titik utama Kota Tuban. Jarang memang sebuah goa berada di tengah kota. Dan dengan adanya cabang-cabang yang berhubungan dengan beragam fakta lain, kedudukan Goa Akbar mungkin dapat ditinjau tidak hanya lewat sisi arkeologi saja.
Namun, di balik berbagai cerita-cerita yang merupakan percampuran dari berbagai legenda dan kepercayaan itu, Goa Akbar tetap merupakan tempat yang sangat penting. Di samping sebagai tempat wisata, goa ini juga memiliki arti bagi ilmu pengetahuan, baik sejarah, arkeologi, maupun ziarah agama. Jangan sampai goa ini bernasib sama dengan tempat-tempat bersejarah lain yang penuh dengan grafiti modern, atau coretan-coretan tangan
Wisata alam Goa Akbar terletak di Jalan Gajah Mada Tuban, Jawa timur. Tidak sulit untuk menemukan Goa Akbar karena letaknya di jalur utama dari Surabaya menuju Semarang. Apalagi berlokasi tepat di belakang pasar baru Tuban.
Luas tempat lokasi wisata alam ini sekitar 1 hektar dan baru dikelola dengan serius oleh pemerintah daerah Tuban sejak tahun 1998. Sebelumnya, dibiarkan terbengkalai dan banyak masyarakat yang belum mengetahui keberadaan goa tersebut, yang konon merupakan tempat persembunyian brandal Lokajaya yang kemudian dikenal sebagai Sunan Kalijaga.

Saat ini Goa Akbar menjadi wisata andalan kota Tuban yang dipercantik dengan beberapa fasilitas pendukung agar wisatawan nyaman berkunjung untuk menikmati suasana Goa yang menakjubkan. Dekorasi gua yang dibantu dengan lampu hias menyuguhkan dimensi bebatuan yang mengagumkan. Pelataran dan jalur menuju goa telah paving block dan di beri pagar steinless steel sebagai pagar pembatas dan keselamatan pengunjung.

Kisah lain yang serupa...

Ada beberapa versi yang berkaitan dengan nama Goa Akbar ini. Dahulu di sekitar goa banyak dijumpai pohon Ngabar (Abar) yang dalam bahasa Jawa berarti latihan. Goa ini menjadi tempat latihan prajurit Ronggolawe, yang berencana mengadakan pemberontakan ke Kerajaan Majapahit karena ketidakpuasan atas pelantikan Nambi sebagai Maha Patih Majapahit. Akhirnya masyarakat setempat menamakan tempat ini menjadi Dusun Ngabar yang sekarang masuk wilayah Desa Gedongombo, Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban.
Dalam segi eksotisme sudah jelas Goa Akbar merupakan GOA alam atau alami terbentuk oleh alam atas kuasa sang pencipta. Didalamnya terdapat stalaktit dan stalagmit yang masih aktif meneteskan air serta unik dipandang mata.
Dalam segi budaya serta sejarahnya bisa anda jumpai waktu pertama kali memasuki area wisata ini. Sebelum anda masuk kedalam mulut Goa Akbar anda akan disuguhkan relief-relif disepanjang dinding yang menceritakan sejarah tuban, sejarah penyebaran agama dituban, serta budaya dituban. Selain itu juga terdapat patung-patung yang bernilai sejarah. Dikatakan juga tokoh yang sangat berperan dalam sejarah dikota tuban juga bernah tinggal di dalam Goa Akbar ini yaitu “Brandal Loko Joyo” yang namanya saat ini digunakan sebagai nama stadion di kota tuban yaitu “Stadion Loka Jaya ”.
Dalam Segi agama jelas sekali kota tuban saat ini menyandang gelar kota wali. Tak lepas dari tempat wisata Goa Akbar ini dulunya juga dikatan sebagai tempat bertapa diantara wali songo yaitu sunan bonan bonang dan sunan kalijogo yang konon pernah bersemedi didalam Goa Akbar yang sampai saat ini kamar dan batu bekas semedi atau bertapa masih terbukti ada. Selain dua wali tersebut dikatakan juga ke sembilan wali yang menyebarkan agama islam ditanah jawa yang sering disebut wali 9 juga pernah melakukan pertemuan didalam GOA tersebut dengan bukti terdapat ruang pertemuan dengan batu mimbar yang seolah memang mirip podium dan tempat rapat didalam GOA tersebut.
Dalam Segi Modernitas Goa akbar ini ternyata terletak ditengah kota tepatnya dibelakang pasar baru tuban. Yang kita ketahui bahwa GOA biasanya terdapat disekitar bukit maupun ditengah hutan pelosok, ternyata goa akbar ini unik terletak di tengah-tengah keramaian. Sehingga efek moderenitas saat ini terasa. pengunjung wisata goa tersebut bukan hanya seorang petualang, pendaki, atau pecinta alam yang suka akan eksotisme alam berupa GOA, tetapi semua kalangan bisa menikmati wisata Goa yang ada ditengah kota tuban ini. Berhubung letak Goa akbar akbar ini cukup dekat hanya beberapa meter dari tempat mobil parkir rombongan wisata religi wali songo yang singgah ke makam sunan bonang, biasanya wisata Goa akbar dijadikan satu paket untuk dikunjungi .

Tidak seperti layaknya goa alam lain yang berlokasi di tempat terpencil, Goa Akbar yang merupakan salah satu objek wisata andalan Kabupaten Tuban berada tepat di bawah pasar rakyat. Keunikan goa dan muatan sejarah yang terkandung di dalamnya, menarik wisatawan baik lokal maupun mancanegara untuk berkunjung ke tempat wisata ini. Di goa dengan lintasan sepanjang 1,2 kilometer itu, pengunjung akan mendapatkan suasana yang sangat berbeda.
Mushola Goa Akbar
Pada sisi lain dari dalam gua terdapat sebuah ruangan yang bisa digunakan oleh pengunjung yang beragam islam untuk melakukan ibadah sholat. Bagian ini memiliki lantai dasar gua yang telah dilapis keramik warna putih dan hitam sebagai penanda barisan sholat.
Ditambah dengan adanya batu-batu besar yang terletak di bagian depan ruang, seakan menjadi podium bagi pembicara.
Legenda yang terkandung dalam goa itu pun berpadu dengan kepercayaan dan perkiraan sejarah. Seperti tempat yang terdapat di depan musholla dalam goa dimana terdapat ruang yang sangat luas. Tempat ini dikenal sebagai Paseban Wali yang dipercaya dulunya digunakan oleh para walisongo untuk berkumpul dan menyampaikan fatwa dan ajaran agama Islam. Ditambah dengan adanya batu-batu besar yang terletak di bagian depan ruang, seakan menjadi podium bagi pembicara.
Ada pula batu yang disebut Gamping Watu Nogo yang dipercaya sebagai tempat pertapaan Sunan Kalijogo.
wallahualam bishshawab...

Kamis, 24 Maret 2016

Sejarah Boyolali



Asal mula nama BOYOLALI menurut cerita serat Babad Pengging Serat Mataram, nama Boyolali tak disebutkan.
Demikian juga pada masa Kerajaan Demak Bintoro maupun Kerajaan Pengging, nama Boyolali belum dikenal.
Menurut legenda nama BOYOLALI berhubungan dengan ceritera Ki Ageng Pandan Arang (Bupati Semarang pada abad XVI.
Alkisah, Ki Ageng Pandan Arang yang lebih dikenal dengan Tumenggung Notoprojo diramalkan oleh Sunan Kalijogo sebagai Wali penutup menggantikan Syeh Siti Jenar.
Oleh Sunan Kalijogo, Ki Ageng Pandan Arang diutus untuk menuju ke Gunung Jabalakat di Tembayat (Klaten) untuk syiar agama Islam.
Dalam perjalananannya dari Semarang menuju Tembayat Ki Ageng banyak menemui rintangan dan batu sandungan sebagai ujian.
Ki Ageng berjalan cukup jauh meninggalkan anak dan istri ketika berada di sebuah hutan belantara beliau dirampok oleh tiga orang yang mengira beliau membawa harta benda ternyata dugaan itu keliru maka tempat inilah sekarang dikenal dengan nama SALATIGA.
Perjalanan diteruskan hingga sampailah disuatu tempat yang banyak pohon bambu kuning atau bambu Ampel dan tempat inilah sekarang dikenal dengan nama Ampel yang merupakan salah satu kecamatan di Boyolali.
Dalam menempuh perjalanan yang jauh ini, Ki Ageng Pandan Arang semakin meninggalkan anak dan istri. Sambil menunggu mereka, Ki Ageng beristirahat di sebuah Batu Besar yang berada di tengah sungai.
Dalam istirahatnya Ki Ageng Berucap “ BAYA WIS LALI WONG IKI” yang dalam bahasa indonesia artinya “Sudah lupakah orang ini”.Dari kata Baya Wis Lali/ maka jadilah nama BOYOLALI. Batu besar yang berada di Kali Pepe yang membelah kota Boyolali mungkinkah ini tempat beristirahat Ki Ageng Pandan Arang.
Mungkin tak ada yang bisa menjawab dan sampai sekarang pun belum pernah ada meneliti tentang keberadaan batu ini. Demikian juga sebuah batu yang cukup besar yang berada di depan Pasar Sunggingan Boyolali, konon menurut masyarakat setempat batu ini dulu adalah tempat untuk beristirahat Nyi Ageng Pandan Arang. Dalam istirahatnya Nyi Ageng mengetuk-ngetukan tongkatnya di batu ini dan batu ini menjadi berlekuk-lekuk mirip sebuah dakon (mainan anak-anak tempo dulu).
Karena batu ini mirip dakon, masyarakat disekitar Pasar Sunggingan menyebutnya mBah Dakon dan hingga sekarang batu ini dikeramatkan oleh penduduk dan merekapun tak ada yang berani mengusiknya.
KISAH LAIN ...
Asal Mula Boyolali
Boyolali merupakan salah satu nama kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Tengah.
Daerah ini termasuk daerah yang strategis karena wilayahnya dilalui oleh jalan negara yang menghubungkan Kota Solo dengan Semarang.
Asal mula nama Boyolali tidak lepas dari kisah perjalanan Kyai Ageng Pandan Arang menuju ke Tembayat untuk melakukan syiar Islam.
Alkisah, Kyai Ageng Pandan Arang atau Tumenggung Notoprojo adalah seorang bekas bupati di Semarang. Menurut ramalan Sunan Kalijaga, Kyai Ageng Pandan Arang nantinya akan menjadi Wali Penutup menggantikan kedudukan Syech Siti Jenar. “Wisikipun Sunan Kalijaga sampun priksa yen Kyai Ageng Pandan Arang punika ing tembe dados tiyang mukmin saged dados Wali Penutup anggentosi Syech Siti Jenar”.
Pada suatu ketika, Kyai Ageng Pandan Arang pergi ke Jabalkat di Tembayat bersama isterinya, Nyai Ageng Kaliwungu atau Nyai Ageng Karakitan, beserta puteranya yang bernama Pangeran Jiwo.
Di dalam perjalanan tersebut usai dirampok di daerah yang sekarang dinamakan Salatiga, Nyai Ageng tertinggal jauh di belakang. Maka ucapnya, “Baya wis lali, Kyai teko ninggal aku”. Sumber lain menyebutkan, “Baya lan mami, adarbe garwa maring sun”. Tempat berkata Nyai Ageng tersebut sampai sekarang disebut Boyolali.
Tentang nama Boyolali, MS. Hanjoyo dalam Berita Buana (1976) menulis: Kira-kira 25 Km dari Salatiga, dalam perjalanannya, Kyai Ageng Pandan Arang duduk di atas batu besar sambil menanti isteri dan anak-anaknya yang masih jauh di belakang. Setelah lama dinanti tidak juga datang, Kyai Ageng Pandan Arang berkata, “ Baya wis lali wong iki”. Tempat itu kemudian disebut Boyolali. Letak batu besar tersebut sekarang di belakang Gedung Sana Sudara Boyolali. Karena dinanti lama tidak juga datang, maka Kyai Ageng melanjutkan perjalanan. Ketika Nyai Ageng sampai di tempat Kyai Ageng beristirahat tersebut, dilihatnya Kyai Ageng Pandan Arang sudah tidak ada. Nyai Ageng berkata, “Kyai, baya wis lali aku, teko ninggal bae”.
Jelas berdasarkan ceritera Kyai Ageng Pandan Arang dalam Babad Tanah Jawi, nama Boyolali berasal dari kata “boya lali” atau “baya lali”.
Menurut Kamus Jawa – Belanda (JFC Geriecke en T. Roorda, 1901), “boyolali” disebut “boyowangsul” atau “bwangsul”. Kata ini menunjukkan nama sejenis pohon, yaitu Aglaia Lourn, suku Meliaceae, yang mungkin sejenis pohon apel Jawa.
Nama “boyolali” dalam Serat Angger-Anggeran Nagari atau Angger Gunung dalam bab 40 disebutkan Bayawangsul. Serat Angger-Anggeran Nagari itu merupakan Surat Keputusan Bersama antara Patih Raden Adipati Sasradiningrat di Surakarta dan Patih Raden Adipati Danurejo di Yogyakarta tahun 1840.
Dari pernyataan di atas jelas bahwa “boyolali” sama dengan “boyowangsul” atau “bwangsul”. Boyolali, apabila kita jadikan bahasa Jawa Krama, mestinya menjadi “bajulkesupen” atau “boyosupe” dan bukan “boyowangsul” atau “bwangsul”. Geriecke en Roorda, selanjutnya menjelaskan, dalam bahasa Jawa terdapat kata: wali dapat berubah menjadi bali atau mali, artinya wangsul atau bangsul. Maleni = mbaleni = mangsuli. Contoh lain: ora wali-wali = ora bali-bali, ora pisan-pisan, babar pisan; walik identik dengan balik; diwalik = dibalik, dibangsul atau diwangsul; ping wola-wali = ping bola-bali. Kemudian kata “lali” = supe, kesupen; kelalen = kesupen; boya lali = ora lali, boten kesupen, artinya eling = ingat, tidak lupa. Boyo lali = tidak lupa, ingat; sedang baya lali = apa lali? Juga dapat berarti ingat. Pertanyaan “Apa lali?”, jawabnya “Ora lali”, tidak lupa, sama dengan ingat. Jadi perkataan “boya lali” searti dengan “baya lali”, bwangsul. Gejala Boyolali menjadi Bayawangsul atau Bajulkesupen merupakan gejala hypercorrect, yaitu hal yang sudah benar masih dibenarkan lagi, akibatnya malah salah. Gejala ini banyak terdapat di dalam bahasa Jawa Krama, yaitu Krama Desa. Tujuannya untuk lebih menghormati orang yang diajak bicara. Contoh lain: Gedangan menjadi Pisangan; Surabaya = Surabanggi; Jambangan = Jambetan; Kedelai = Kedhangsul; Karanganyar = Kawisenggal; Masaran = Mekenan; Ketiga = Ketigen; Jaran = Kepel, dan sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas, akhirnya sejauh ini nama Boyolali bersumber pada ceritera rakyat tentang Kyai Ageng Pandan Arang. ***
Sumber:Tim Peneliti Universitas Sebelas Maret, 2010, Sejarah dan Hari Jadi Kabupaten Boyolali, Boyolali: WBC (Watutelenan Bicycle Community).
Transportasi
Wilayah Kabupaten Boyolali dilewati jalan negara yang menghubungkan Semarang-Solo. Selain itu juga terdapat jalur alternatif dari Semarang menuju Sragen melalui Karanggede. Rata-rata seluruh pelosok kecamatan di Boyolali sudah mudah dijangkau sarana transportasi. Bandara Internasional Adi Sumarmo pun secara geografis masuk wilayah kabupaten Boyolali.
Pariwisata
Boyolali terletak di kaki sebelah timur Gunung Merapi dan Gunung Merbabu yang memiliki pemandangan sangat indah dan mempesona, sayuran hijau yang luas dan berbukit-bukit serta aktivitas Gunung Merapi yang terlihat dengan jelas aliran lahar dan asapnya.
Jalur Solo-Boyolali-Cepogo-Selo-Borobudur (SSB) yang melintasi kedua gunung tersebut dipromosikan menjadi jalur wisata menarik yang menjadi pilihan bagi wisatawan baik domestik maupun negara asing dari kota budaya Surakarta menuju Candi Borobudur untuk melintasi Kabupaten Boyolali. Kecamatan Selo dikenal sebagai daerah peristirahatan sementara bagi para pendaki Gunung Merapi dan Merbabu yang mempunyai tempat penjualan cenderamata yang representatif. Kecamatan Cepogo dan Selo merupakan sentra penghasil sayuran hijau yang segar dan murah serta pusat kerajinan tembaga di Boyolali.
Selain panorama Gunung Merapi dan Merbabu, kabupaten Boyolali juga memiliki tempat wisata berupa mata air alami yang mengalir secara terus menerus dan sangat jernih yang dikelola dengan baik menjadi tempat wisata air, kolam renang, kolam pancing dan restoran seperti di Tlatar (sekitar 7 km arah utara kota Boyolali) dan Pengging di Kecamatan Banyudono (sekitar 10 km arah timur kota Boyolali).
Kedua tempat wisata air ini memiliki keunikan sendiri-sendiri. Kalau di Tlatar memiliki keunggulan dimana lokasinya masih sangat luas dan memiliki beberapa pilihan kolam renang berikut tempat mancing dan restoran terapung, maka di Penging memiliki keunggulan dimana dulunya merupakan tempat mandi keluarga Kasunanan Surakarta . Sehingga disekitar Pengging ini masih dapat ditemukan bangunan-bangunan bersejarah yang unik milik Kasunanan Surakarta. Juga terdapat makam salah seorang pujangga Keraton Surakarta yaitu Raden Ngabehi Yosodipuro. dan masih ada lagi waduk sidorejo (WKS) yang tak kalah menarik dengan waduk kedung ombo (WKO) yang pasnya terletak dusun sidorjo.desa ngleses.kecamatan juwangi.kab boyolali.dan disini bisa menikmati pemandangan yan luar biasa
Agrowisata
Agrowisata Sapi Perah Cepogo
Kabupaten Boyolali terkenal dengan usaha pengembangan sapi perah dan penggemukan sapi. Jarak dari Kabupaten Boyolali adalah 13 km ke arah Barat. Jalan ke Cepogo menanjak karena topografinya merupakan pegunungan. Hal ini menyebabkan iklim yang dingin sehingga memungkinkan pemeliharaan sapi perah. Cepogo ditetapkan menjadi lokasi agrowisata sapi perah.
Jika Anda berkunjung ke Boyolali, sempatkanlah datang ke tempat pemerahan sapi yang terletak di Kecamatan Cepogo. Kondisi kendaraan harus prima karena medan yang menanjak dan jalan yang berkelok-kelok. Anda dapat melihat proses pemerasan susu sapi. Jika ingin mencoba dapat juga berpartisipasi memerah susu sapi dengan tuntunan peternak. Dan yang pasti, Anda dapat meminum susu yang masih segar hasil perasan peternak sapi.
Agrowisata Sayur Selo
Terletak di kawasan objek wisata Selo, 25 km ke arah Barat dari Kabupaten Boyolali.
Para pengunjung dapat menikmati dan memetik sendiri aneka ragam sayuran, antara lain : wortel, kol, daun adas, dan lain-lain.
Agrowisata Padi
Jarak 10 km ke arah Timur Kabupaten Boyolali.
Agro wisata padi merupakan wahana yang tepat untuk menumbuh-kembangkan kecintaan generasi muda pada padi.
Dengan adanya agro wisata padi, generasi muda akan dapat berinteraksi langsung dengan obyek wisata.
Kampung Lele
kampung lele terletak di Desa Tegalrejo, Kecamatan Sawit. Kampung lele merupakan usaha kementrian perikanan Indonesia untuk memenuhi target 2015 sebagai penghasil perkanan terbesar. Pembudidayaan ikan lele di Kampung Lele dianggap berhasil memberikan kontribusi bagi ketahanan pangan baik lokal maupun nasional. Bahkan keberhasilan pembudidayaan ikan lele di kampung lele tidak hanya dikenal di skala nasional, melainkan hingga kawasan Asia Tenggara.
Kolam pembesaran ikan lele dapat berupa kolam tanah, kolam semen dan kolam tanah dengan dinding dikelilingi oleh karung berisi tanah yang berfungsi agar dinding kolam tidak longsor. Kolam tanah dan kolam yang terbuat dari semen atau kolam permanen memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Kolam tanah dapat membuat daya tahan tubuh kuat, tidak berlemak tetapi mudah mengalami kebocoran karena lele memiliki sifat menggali tanah. Kolam permanen lebih tahan lama untuk penggunaan dalam waktu jangka panjang, tidak mudah bocor dinding-dinding kolam, mudah dalam penanganan dan pembersihan tetapi kolam permanen ikan yang dihasilkan tidak tahan penyakit dan daging berlemak.
Tempat Wisata
Air Terjun Kedung Kayang
Objek wisata ini terletak di Desa Klakah yang berjarak 5 kilometer ke arah barat dari Kecamatan Selo. Daerah wisata ini memiliki pemandangan alam berupa air terjun yang terletak di antara 2 kabupaten, yaitu Boyolali dan Magelang. Air Terjun Kedung Kayang yang memiliki ketinggian 30 meter ini masih alami dan belum dieksploitasi besar-besaran, mengingat jalan menuju ke objek wisata tersebut seperti layaknya jalan di daerah perkampungan. Di sekitar objek wisata ini terdapat tanah datar yang cocok untuk area perkemahan. Potensial untuk aktivitas camping, hiking, climbing.
Fasilitas yang tersedia berupa penginapan/ homestay, perkemahan, dan warung. Waktu yang paling ramai dikunjungi adalah hari sabtu-minggu dan hari libur nasional terutama bagi pasangan muda-mudi.
Waduk Badhe
Terletak di Desa Bade Kecamatan Klego sekitar 40 km ke arah utara dari Kota Boyolali sebagai sarana irigasi bagi pertanian dan perikanan bagi masyarakat sekitar, memiliki pemandangan alam yang mempesona. Failitas yang terdapat disini adalah: rumah makan, wisata air, pemancingan, dan area lomba burung.
Waduk Cengklik
Obyek wisata ini terletak di Desa Ngargorejo dan Sobokerto, Kecamatan Ngemplak ± 20 km, ke arah timur laut Kota Boyolali, Bila dari Bandara Adi Sumarmo ± 1,5 KM (di sebelah barat bandara tepatnya). waduk dengan luas genangan 300 ha ini dibangun pada zaman Belanda, tujuannya untuk mengairi lahan sawah seluas 1.578 ha, bisa untuk latihan sky air.
Letaknya sangat strategis, berdekatan dengan Bandara Adi Sumarmo, Asrama Haji Donohudan, Monumen POPDA, dan Lapangan Golf. Fasilitas: wisata air (water resort), pemancingan (fishing area), rumah makan lesehan (floating restaurant).
Waduk Kedung Ombo
Obyek wisata ini terletak di Desa Wonoharjo, Kecamatan Kemusu, sekitar ± 50 km ke arah utara Kota Boyolali menjanjikan rekreasi hutan dan air yang menyegarkan serta pemancingan. Fasilitas: bumi perkemahan, hutan wisata, tempat pemancingan, rumah makan apung, wisata air.
WADUK SIDOREJO
wisata ini yang terletak di desa sidorejo. kecamatan juwangi. boyolali. sekitar + 10 km keutara dari (waduk kedung ombo) dan di sini bisa menikmatti pemandangan, air terjun pleret dan menikmati warung makan di atas kincir air raksasa
Gunung Merapi dan Gunung Merbabu
Terletak 25 km dari Kota Boyolali kearah barat. Obyek Wisata Gunung Merapi salah satu gunung yang teraktif di dunia, selain itu pemandangan alamnya sangat indah serta panorama alam masih asli. Bagi pecinta alam yang senang berpetualang merupakan jalur terpendek untuk mencapai puncak gunung Merapi 4 jam dan untuk mencapai puncak gunung Merbabu 8 jam. Dengan mendaki puncak Merapi para pendaki dapat melihat matahari terbit "Sun Rise."
Setiap malam 1 Suro diadakan Upacara Tradisional Sedekah Gunung sebagai perwujudan rasa syukur masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Lonjakan wisata pendakian pada menjelang tgl 1 Suro, Tahun Baru, 17 Agustus (Pengibaran Bendera Merah Putih di Puncak Merapi).
Fasilitas: TIC (Tourism Information Centre) Joglo Merapi I, Home Theatre New Selo, Wall Climbing, Lapangan Tenis, Gedung Diklat, Bungalow Tersenyum, Home Stay, Warung Makan/ Makanan Khas Selo, Souvenir.
Tlatar Reservoir
Terletak di Dukuh Tlatar, Desa Kebonbimo, Kecamatan Boyolali dengan jarak tempuh dari kota kira-kira 4 km ke arah utara. Nuansa pesona alam terhampar dengan latar belakang budaya desa dan air yang melimpah, aroma kelezatan masakan ikan air tawar yang disajikan baik secara goreng maupun bakar sambil memancing dan duduk santai sungguh merupakan rekreasi menyegarkan di
Obyek Wisata Tlatar.
Pemandian ini adalah pemandian untuk keluarga dengan sumber air berasal dari mata air. Ada 2 buah pemandian de, yaitu Pemandian Umbul Pengilon dan Pemandian Umbul Asem. Selain itu ada beberapa kolam renang rekreasi, termasuk kolam renang berstandar olimpiade.
Setiap dua hari menjelang bulan Puasa diadakan even Padusan. Upacara Padusan ini juga diselenggarakan di Umbul Pengging dan Pantaran. Acara ini bertujuan untuk mensucikan diri sebelum melaksanakan ibadah puasa.
Fasilitas yang tersedia: rumah makan lesehan, pemancingan, kios cenderamata, kolam renang anak dan dewasa, taman wisata air, lapangan woodball, panggung hiburan setiap menjelang bulan Puasa
Pemandian Umbul Pengging
Terletak di Banyudono, merupakan wahana wisata kreasi air. Penging memiliki keunggulan dimana dulunya merupakan tempat mandi keluarga Kasunanan Surakarta (Pemandian Tirto Marto). Sehingga disekitar Pengging ini masih dapat ditemukan bangunan-bangunan bersejarah yang unik milik Kasunanan Surakarta. Juga terdapat makam salah seorang pujangga Keraton Surakarta yaitu Raden Ngabehi Yosodipuro.
Wisata Budaya
Sedekah Gunung
Upacara ini diselenggarakan di Desa Lencoh, Kecamatan Selo setiap malam 1 Suro. Acara ini merupakan prosesi persembahan kepala kerbau dan sesaji ke kawah gunung Merapi sebagai tAnda syukur masyarakat Selo dan sekitarnya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Upacara ini dimeriahkan dengan tarian dan atraksi oleh masyarakat setempat. Waktu pelaksanaan mulai jam 22:00 sampai 24:00 dan diakhiri dengan kirab potongan kepala kerbau serta gunungan nasi jagung sebagai sesaji yang diletakkan di Pasar Bubrah.Terdapat tiga acara utama selama prosesi upacara berlangsung, yaitu kirab sirah maeso atau kepala kerbau, kirab saji Gunung Merapi serta kirab ratusan obor. Kirab ratusan obor menjadi daya tarik lebih karena baru diadakan pada tahun 2010.
Tradisi ini bermula dari ritual tolak bala yang dilakukan Pakubuwono X dari Kasunanan Surakarta dengan menumbalkan seekor kerbau ke Gunung Merapi. Seiring waktu, kini warga hanya menumbalkan bagian kepalanya saja.
Kirab budaya
Tradisi ini berada di desa Samiran kecamatan Selo kabupaten Boyolali. dilaksanakan setiap tanggal 2 sura. dimulai dari pelataran gua raja, yang menurut legenda dahulu kala gua itu dijadikan tempat peristirahatan pangeran Diponegoro. Kirab dimulai dengan pengambilan air suci barokah yang berada di kawasan gua raja dan diarak beserta iring-iringan tumpeng-tumpeng hasil bumi dari kawasan sekitar Selo. Ribuan warga desa Samiran ikut serta mengiring arak-arakan tumpen beserta air tersebut, dengan mengenakan pakaian adat, untuk menuju ke pesanggrahan Kebo Kanigoro.sesampainya di Kebokanigoro, air suci barokah dari Guaraja di satukan dengan air perwita sari air yang diambil dari kawasan pesangrahan Kebo Kanigoro.
Sadranan
Sadranan yaitu suatu tradisi masyarakat untuk membersihkan makam leluhur dan ziarah kubur dengan prosesi penyampaian doa dan kenduri yang dilaksanakan oleh warga setempat berujud aneka makanan dan nasi tumpeng.Tradisi ini dilaksanakan setiap tahun pada pertengahan bulan Ruwah (penanggalan jawa) menjelang datangnya bulan Ramadhan.Selain mengirim doa kepada para leluhur dan sanak keluarga yang telah meninggal, Sadranan bertujuan juga untuk melestarikan budaya peninggalan nenek moyang yang sudah berlangsung turun-temurun.
Acara diawali dengan bersih-bersih makam pada pagi hari. Dengan bermodalkan cangkul dan sabit, masyarakat membersihkan rumput-rumput yang tumbuh di sekitar makam. Setelah selesai mereka pulang dan kembali ke pemakaman sambil membawa tenong yang berisi makanan dan buah-buahan.Sebelum kendurenan sadranan dimulai, warga membaca tahlil dan dzikir, berdoa bersama kepada Tuhan Yang Maha Esa. Setelah selesai berdoa dilanjutkan dengan makan bersama. Sadranan tidak hanya diikuti oleh orang dewasa, anak-anak pun ikut berpartisipasi sehingga suasana menjadi meriah.
Ngalap Berkah Paringan Apem Kukus Keong Emas
Dilaksanakan di kawasan wisata Pengging di lingkungan Makam Astana luhur R. Ng. Yosodipuro pada hari Jum'at pertengahan bulan Sapar. R. Ng. Yosodipuro adalah seorang Pujangga Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Karena kearifannya seringkali rakyat Pengging memohon petunjuk termasuk pada saat petani meminta bantuannya untuk mengatasi serangan hama keong mas.
Atas petunjuk R. Ng Yosodipuro para petani mengambil keong mas tersebut kemudian dimasak dengan cara dikukus. Sebelumnya keong tersebut dibalut dengan janus yang dibentuk seperti keong mas. Setiap kali panen padi janur bekas balutan keong mas tersbut digunakan untuk membuat apem kukus. Apem kukus itu kemudian dibagi-bagikan pada petani sebagi wujud syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang diberikan dan juga berkurangnya hama keong. Tradisi bagi-bagi apem akhirnya terus berkembang hingga berjalan sampai sekarang.
Upacara ini merupakan tradisi berebut makanan dengan perwujudan menerima pembagian kue terbungkus janur yang telah didukung dengan mantera dan do'a oleh Kyai ulama yang berlokasi di makam Astono luhur R. Ng. Yosodipuro pada malam Jum'at pertengahan bulan Sapar dan dibagikan pada Jum'at siang setelah salat jum'at. Bagi masyarakat yang percaya jika berhasil mendapatkan apem maka diyakini akan mendatangkan berkat.
Kawasan Pengging
Pemandian Tirto Marto
Pemandian ini terletak di Desa Dukuh, Kecamatan Banyudono dengan jarak tempuh dari kota Boyolali adalah 12 km. Pemandian ini dahulu digunakan oleh Raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat Sri Paduka Susuhunan Paku Buwono X beserta kerabatnya. Di dalam pemandian ini terdapat tiga buah umbul, yaitu Umbul Penganten, Umbul Ngabean, dan Umbul Duda.
Sekarang, di pemandian ini sering digunakan oleh peziarah untuk mengadakan ritual yang disebut Ritual Kungkum. Ritual Kungkum adalah ritual merendam diri peziarah di dalam air sebatas leher yang dimulai mulai pukul 24.00 - 03.00 wib pada malam Jum'at. Selain ritual tersebut ada juga Even Padusan yang dilaksanakan 2 (dua) hari menjelang bulan puasa.
Masjid Cipto Mulyo
Masjid Cipto Mulyo adalah Masjid Peninggalan Sunan Pakubuwono X. Terletak di Kawasan Wisata Pengging Kecamatan Banyudono. Lokasi wisata ini dapat dijangkau dengan kendaraan pribadi dan kendaraan umum dengan jarak kurang lebih 1,5KM dari Jalan Raya Solo-Semarang. Dari pusat kota Boyolali, lokasi wisata ini berjarak kurang lebih 15KM.
Umbul Sungsang
Umbul Sungsang adalah tempat untuk ritual Kungkum (berendam dalam air sambil menunggu hasil Sanggaran di makam R. Ng. Yosodipuro)
Pengging Fair
Pengging fair adalah salah satu acara dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan RI yang diselenggarakan di Desa Pengging, Kec. Banyudono dengan menampilkan pasar malam dan festival seni budaya. Acara ini dilaksanakan selama seminggu dan diadakan sekali dalam satu tahun.
Pasar Malam dimeriahkan oleh pedagang baik lokal maupun luar daerah yang menjajakan dagangannya selama Festival berlangsung. Festival budaya diadakan oleh masyarakat setempat seperti karnaval dan hiburan seni. Karnaval dilaksanakan disepanjang jalan Pasar Pengging diteruskan oleh drum band, reog, dan barongsai. Hiburan seni menampilkan campursari, band remaja, dan wayang kulit semalam suntuk.
Jika Anda berkunjung ke Boyolali pada bulan Agustus, sempatkanlah untuk menyaksikan Pengging fair.
Makam R. Ng. Yosodipuro
R. Ng. Yosodipuro adalah seorang Pujangga Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Dengan jarak tempuh dari kota 12 km, makam ini setiap malam Jumat Pahing diadakan Upacara Sanggaran. Masih disekitar Makam R. Ng. Yosodipuro,Upacara Ngalap Berkah Paringan Apem Keong Emas ini dilaksanakan, pada pertengahan Bulan Sapar.
Upacara ini merupakan tradisi berebut apem (makanan khas yang terbuat dari tepung beras) yang terbungkus janur (daun kelapa yang masih muda) dan telah didoakan oleh Kyai/ Ulama dan dibagikan pada Jumat siang setelah Sholat Jumat.
Ada Masjid peninggalan Sunan Paku Buwana X.
Legenda Bandung Bondowoso
Di jaman dahulu, terdapat Kerajaan Pengging yang bersamaan dengan Kerajaan Boko di Prambanan. Kerajaan Pengging yang dipimpin oleh Prabu Damar Moyo yang arif bijaksana, yang mempunyai putra bernama Bandung Bondowoso. Bandung Bondowoso ini yang terkait dalam Legenda Roro Jonggrang dan Candi Prambanan.
Pesanggrahan Pracimoharjo
Merupakan petilasan Sri Susuhunan Paku Buwono X sebagai obyek wisata minat khusus/ ziarah, Terletak di Desa Paras, Kecamatan Cepogo.
Makam Ki Ageng Pantaran
Di Pantaran Desa Candisari Kecamatan Ampel. Jarak tempuh dari kota 17 km. Makam ini cukup potensial sebagai tempat ziarah, karena terdapat Petilasan Ki Kebo Kanigoro, petilasan Syeh Maulana Malik Ibrahim Maghribi, Petilasan Ki Ageng Pantaran. Pengunjung dapat menikmati pemandangan alam di kaki gunung Merbabu dan air terjun Si Pendok. Setiap tanggal 20 suro diadakan event upacara tradisional Buka Luwur. Fasilitas: Bangsal tempat tirakat, Bukit Perkemahan Indraprasta.
Makam Prabu Handayaningrat
Obyek wisata ini terletak di dukuh Malang, desa Dukuh, kecamatan Banyudono. Makam ini merupakan trah dari majapahit.
Makam Ki Ageng Kebo Kenanga
Obyek wisata ini terletak di dukuh Pengging, desa Jembungan, kecamatan Banyudono. Banyak oranga yang berkunjung dengan berbagai tujuan.
Petilasan Kebo Kanigoro
Gunung Tugel dan Makam Ki Ageng Singoprono
Obyek wisata ini terletak di Desa Nglembu, Kecamatan Sambi, sekitar ± 15 km ke arah timur laut Kota Boyolali. Lokasi ini lebih dekat ditempuh dari kota kecamatan Simo yang berjarak hanya sekitar 3 km dari pusat kota. Tempat ini menjanjikan rekreasi perbukitan dan ratusan tangga menuju makam Ki Singoprono di puncak gunung tugel. Obyek Wisata Khasanah yang di kunjungi setiap malam Jumat dan malam Selasa Kliwon, Lokasi Makam Ki Ageng Singoprono yang menarik dengan letaknya yang sangat indah. Fasilitas: Bumi Perkemahan, Hutan Wisata, Tempat Menyepi dan Tempat Berdoa di puncak gunung tugel.
Candi Lawang
Namanya adalah Candi Lawang. Lawang itu bahasa Jawa yang artinya pintu. Lha kenapa disebut seperti itu? Karena candi ini sangat mencolok bentuk pintunya. candi ini adalah susunan batu candi,ada diantaranya yg masih di renovasi. Candi Lawang ini tidak berpenjaga.
Ini adalah candi Hindu abad ke-9 yang menghadap ke arah Barat. Ya bisa karena di bilik utama ada yoni tanpa lingga. Yoninya juga unik karena memiliki saluran berlubang sebagai tempat keluarnya air. Mirip dengan yang di Candi Merak. Di sekeliling candi tidak ditemukan arca maupun relief. Yang ada hanya batu berornamen. Sekitar candi tersebar bebatuan yang belum disusun. Candi ini tepat berada di belakang rumah. Sepertinya keberadaan candi ini sudah diketahui sejak dulu. Satu lagi, candi ini cukup fotogenik.
Butuh perjuangan untuk bisa mencapai candi ini. Letak administratif candi ini ada di Dusun Gedangan, Kec. Cepogo, Kab. Boyolali, Jawa Tengah. Dari Jogja menuju kota Boyolali bisa ditempuh selama 1,5 jam menggunakan sepeda motor. Rute yang paling singkat adalah Jogja-Klaten-Boyolali tanpa perlu melewati Kartasura. Untuk menuju Kec. Cepogo, arahkan kendaraan ke jalur menuju Ketep Pass. Sedangkan untuk menuju Candi Lawang, alangkah baiknya kalau bertanya kepada warga. Walau ada beberapa papan petunjuk arah ke candi, tetap saja kami menghabiskan waktu 30 menit untuk tersasar di Dusun Gedangan. Sekali lagi, tanyalah warga! Jangan segan karena warga disini ramah kepada pendatang.
Situs Bersejarah Lainnya
Masih banyak situs bersejarah lainnya di Boyolali, antara lain Candi Sari, Situs Candi, Situs Sumur Songo, Situs Petirtaan, Situs Musuk, Petirtaan Semboja, Petirtaan Sendang Pitu, Candi Kunthi, Petirtaan Lerep, dan Petirtaan Kalitelon. Sayangnya dapat dibilang tidak terawat.
Wisata Kuliner
Susu Segar
Minuman satu ini jangan sampai terlupakan ketika berada di Boyolali. Terdapat banyak warung dan "wedangan hik" yang menyediakan susu segar, dan tidak hanya itu, susu jadi menu wajib di tempat-tempat favorit jajan dan restoran di Boyolali, misalkan di Roti Bakar Amazon, RM. Elang Sari, dll.
Selain susu segar, walau tidak di setiap tempat, suguhan produk turunannya pun mulai bisa diperoleh di Boyolali, misalkan yoghurt dan keju Boyolali.
Marning
Marning merupakan makahan tradisional yang terbuat dari jagung yang digoreng. Rasa yang ditawarkan adalah manis, pedas, presto, gepuk, dan lain-lain. Permintaan yang paling banyak terjadi menjelang lebaran sebagai suguhan di rumah maupun oleh-oleh mudik.
Pusat pembuatan Marning terdapat di Desa Kiringan, Winong, Kebonbimo & Banaran (kecamatan Boyolali) dan Desa Metuk, Kragilan (Kecamatan Mojosongo).
Jadah Selo
Jadah adalah makanan tradisional yang mudah ditemukan di mana saja. Makanan ini terbuat dari ketan dan kelapa. Jadah Selo merupakan makanan khas daerah di Boyolali, tepatnya di kawasan Selo. Namun makanan ini baru terkenal sejak adanya jalur wisata Solo-Selo-Borobudur.Pembelinya tidak hanya kalangan petani saja, namun juga wisatawan yang melewati kawasan ini.
Jadah ini bisa dinikmati dengan cara dibakar maupun tidak. Dengan udara pegunungan yang sejuk, jadah lebih pas dipadukan dengan tempe atau tahu bacem.
Pasar Simo
Pasar Simo mempunyai ragam dagangan khususnya makanan yang khas. Dari gudangan (urap) daun adas yang hanya tumbuh di Selo Boyolali, kupat tahu dengan bakmi glepung singkong - lomboknya digerus pake sendok, gule kambing dengan acar bawang merah utuhan, bergedel singkong (ketemu rasa sama di RM ayam goreng Ciganea Jabar), mentho kacang, gemblong, gendar dengan kelapa parut, puli pecel, tempe mbok Darubi, nasi tempe mendoan dengan bungkus daun jati, tahu rebus atau bacem, wedang serbat/jahe disimpan dengan 'jun', hingga yang baru belakangan hadir seperti bebek dan ayam goreng, pecel lele, gudeg, angkringan malam dan aneka jajanan yang tak kalah level mutunya dengan eks Pengging atau Solo. Semua nikmat, all you can eat. Apalagi Simo didukung ketersediaan air minum yang berkwalitas sehingga masakan dan minuman jadi enak.
Sayang, masakan masakan yang menjadi trade mark tahun 60an seperti saoto-nya Pak Wiro atau mBok Mangun Cebleng, panganan Nyah Yute (ibu tua yang warungnya menyajikan wajik, jenang jadi, krasikan, kue lapis, klepon, ketan bubuk dele, .. diracik rapi dalam takaran daun pisang - mungkin kalau sekarang masih ada bisa mengalahkan Ny Week Muntilan), krupuk Pak Marto Krupuk (yang mengolah sendiri dari singkong mentah menjadi tepung kanji sampai produk akhir krupuk / bakmi), gule-nya P Kaji Wetan Pasar (mbahnya Ngadenan dan Rahardjo), semuanya sudah tak berlanjut, karena putera puterinya tidak ada yang meneruskan.
Simo dulu grosir-nya tape. Tape pohung Simo kondang manisnya, berpikul-pikul setiap hari dipasok ke pasar pasar di Solo. Saat itu terminal bis Simo-Solo (hanya ada dua bis, Eva dan Sridaya) masih berada di depan pasar. Dari sini pedagang pedagang tape menunggu bis dan menggunakan untuk angkutan ke Solo. Tape Simo saking manis dan 'njuruh'nya, air tape bercucuran dari atas (atap bis untuk bagasi), mengenai penumpang yang duduk dipinggir jendela, body bis pun lengket-lengket. Kunci kelezatan tape Simo ini, selain karena pohung-nya yang baik, juga ada pada ragi tape yang diproduksi oleh Na Kok Liong dari jalan Nonongan Solo - kala itu. Sekarang pemandangan ini sudah tidak dijumpai lagi. Tapi tape pohung, baik yang glondongan model peuyeum Bandung atau tape gaplek (potongan kecil kecil dibungkus daun pisang), dan tape ketan item masih bisa dinikmati di pasar ini.
Apa yang ada sekarang masih sangat memuaskan untuk dicoba sebagai alternatif wisata kuliner, selain wisata ke Gunung Tugel, Rogo Runting dan seterusnya. Mak nyuus ... rasa bumbu lawas tenan, berserat bikin badan sehat. Sayang sekarang tinggal kenangan...
Simo terkeal juga dengan sebutan kota pelajar. Di mana banyak terdapat jenjang sekolah di kecamatan ini.
Soto
Boyolali terkenal juga sebagai Kota Soto, dengan banyak warung soto yang terkenal, seperti Soto Seger Mbok Giyem, Soto Sedap, Soto Rumput, Soto Ndelik, Soto Nggopir, Soto Ledhok, Soto Ompronx , Soto Mbok Sri depan SMK Dwija Dharma ,Rumah Makan Elang Sari,Soto Mak Ti di desa Ngablak RT 02 RW 02 Kenteng kecamatan Nogosari
Sambel Tumpang/ Sambel Lethok
Nasi sambal Tumpang merupakan masakan yang terdiri dari nasi sambal tumpang dan ditambah dengan sayur-mayur sebagai pelengkap. Jika dilihat dan dipandang sepintas, Nasi Sambal Tumpang hampir sama dengan Sambal Pecel. Bahkan ada perpaduan antara sambal Tumpang dengan Sambal Pecel. Rasanya juga terasa enak. Bedanya sambal tumpang itu sambalnya terbuat dari tempe bosok (busuk) yang ditumbuk halus. Tempe bosok memang sengaja dibuat busuk dan dijual. Rasa yang ditimbulkan dari tempe bosok ini yaitu rasa sangit. Namun rasa dari tempe bosok terasa berbeda ketika sudah diolah menjadi dan beberapa bumbu lain seperti kencur, daun jeruk, dll. Selain itu, di dalam Sambal Tumpang ini juga terdapat tahu yang diolah bersama Sambal Tumpang ini. Nasi Sambal Tumpang ini biasanya cocok untuk dihidangkan pada pagi hari sebagai menu makan pagi. Apalagi dengan nasi yang masih hangat. Nasi Sambal Tumpang ini cocok dinikmati dengan lauk Telur, Tempe, Bakwan, Rambak, Krupuk, dan Ayam.
Sambal tumpang sangat mudah ditemui di mana-mana, hampir semua warung makan menyediakan, tapi yang khusus sambel lethok antara lain Mbok Nah di Ampel, Suprih di sebrang KUD Kota Boyolali, timur terminal bis Boyolali, Rumah Makan Elang Sari, dan lain-lain.
Sebagaimana tren "kuliner malam", banyak warung makan tenda khusus untuk sambel tumpang ini, bahkan memberi nama "Warung Bubur Tumpang".
Pendidikan
Pendidikan formal TK atau RA SD atau MI SMP atau MTs SMA atau MA SMK Perguruan tinggi Lainnya
Negeri 4 603 67 21 9 0 0
Swasta 509 215 70 28 28 2 9
Total 513 818 137 49 37 2 9
Data sekolah di Kabupaten Boyolali (2010/2011)
Perekonomian
Peternakan Sapi
Boyolali dikenal sebagai kota susu, karena merupakan salah satu sentra terbesar penghasil susu sapi segar di Jawa Tengah. Peternakan sapi perah umumnya berada di daerah selatan dan dataran tinggi yang berudara dingin, karena sapi perah yang dikembangkan saat ini berasal dari wilayah sub-stropis Australia dan Selandia Baru. Selain itu didaerah Kecamatan Ampel terdapat sentra industri Abon dan Dendeng.
Perindustrian
Banyak terdapat perindustrian di wilayah Boyolali yang dapat menampung tenaga kerja yang potensial. Mayoritas industri yang ada di wilayah Boyolali adalah bergerak dalam bidang tekstil, antara lain PT. Sari Warna Asli, PT. Safaritex, PT. Bupatex dll. Di Kecamatan Ampel misaalnya, telah disediakan Kawasan Industri baru yang luasnya berkisar 272-300 hektare (ha). Kawasan industri Boyolali dirancang untuk industri berbasis TPT terintegrasi, termasuk dilengkapi dengan infrastruktur yang memadai dan fasilitas pusat pelatihan dan inovasi. Kawasan ini difokuskan untuk industri tekstil kering (garmen) karena keterbatasan air.
Produksi Tanaman Perkebunan
Kelapa = 4.396,20 hektare = 10.766.450 butir
Cengkeh = 892,13 hektare = 4.317,30 kwintal
Teh = 28,62 hektare = 161,60 kwintal
Tembakau = 2.884,20 hektare = 1.819.299 kilogram
Kencur = 573,85 hektare = 4.605.290 kilogram
Jahe = 300,50 hektare = 1.805.100 kilogram
Kopi Robusta = 224,67 hektare = 75.703 kilogram
Kopi Arabika = 186,61 hektare = 13,24 ton
Jambu Mete = 129,53 hektare = 50.781 kilogram
Potensi Produk Potensial
Tembakau Rajangan, di Kecamatan Mojosongo, Banyudono, Musuk, Selo, Cepogo, Ampel, Teras dan Sawit. Produksi 4.178.543 ton/tahun, meliputi areal 5.369,35 hektar. Manfaat: bahan baku industri rokok. Pemasaran: ke wilayah Jateng dan Jatim.
Tembakau Asapan, di Kecamatan Mojosongo, Banyudono, Teras, Ampel, dan Sawit. Produksi 1.760,79 ton/tahun dengan areal seluas 2.635 hektare. Manfaat: Bahan baku industri rokok. Pemasaran di wilayah Jateng dan Jatim.
Peluang Investasi
Tembakau: Industri Pabrik Rokok di Kecamatan Selo, Ampel, Musuk, Cepogo, Mojosongo, Teras, Sawit dan Banyudono Potensi: Produksi 4.178,543 ton/tahun pada areal 5.369,35 hektare. Kegunaan: Bahan baku industri rokok.
Kopi Arabika: Budidaya tanaman kopi arabika di Kecamatan Selo, Cepogo, Ampel, dan Musuk. Potensi: Produksi 172,790 ton/tahun pada areal 234 hektar. Kegunaan: memenuhi kebutuhan pasar ekspor dan bahan baku industri kopi bubuk/instant.
Jahe: Budidaya tanaman jahe dan Industri pengolahan jamu tradisional di Kecamatan Ampel, Musuk, Cepogo, Boyolali, dan Selo. Potensi: Produksi 4.363,170 ton/tahun pada areal 611,85 hektare. Kegunaan: Bahan baku industri jamu tradisional.
Kencur: Budidaya tanaman kencur dan industri pengolahan jamu tradisional di Kecamatan Simo, Andong, Klego, Sambi, dan Nogosari. Potensi: Produksi 5.670,290 ton/tahun pada areal 490,95 hektare. Kegunaan: Bahan baku industri jamu tradisional.
Teh: Industri pengolahan teh wangi di Kecamatan Ampel, Selo, dan Cepogo. Potensi: Produksi 191,63 kg/tahun pada areal 27,88 hektare. Kegunaan: Bahan baku pengolahan teh wangi.
Jarak: Budidaya tanaman jarak dan Industri pengolahan minyak jarak di Kecamatan Klego, Andong, Kemusu, Juwangi, Wonosegoro dan Nogosari. Potensi areal: 10.409 hektar. Kegunaan: bahan baku industri minyak jarak.
Putra-Putri Terkenal Kelahiran Boyolali
Boyolali telah banyak melahirkan putra-putri yang berhasil dan banyak dikenal di seantero wilayah Indonesia, bahkan dunia. Beberapa putra terkenal kelahiran Boyolali adalah sebagai berikut:
Prof. Dr. Soeharso. Ia adalah dokter terkenal dan pendiri YPAC. Ia adalah merupakan salah satu pahlawan nasional.
Laksamana Widodo AS. Ia adalah pernah menjabat sebagai KSAL, panglima TNI dan Menkopolhukam di era pemerintahan presiden SBY.
Ir. Joko Kirmanto. Ia adalah Menteri Pekerjaan Umum di era pemerintahan presiden SBY.
Djoko Susilo. Ia pernah menjadi wartawan Jawa Pos, pernah menjadi anggota DPR-MPR, dan saat ini sebagai Duta Besar RI untuk Swiss, Kelahiran Banaran kota Boyolali
Mbah Sumogambar. Pelawak terkenal seangkatan dengan Basiyo.
Prof dr Hadi Pratomo, MPH, Dr PH -Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, kelahiran Sawit.
Prof Dr Sukidjo Notoatmodjo - Guru Besar Emeritus Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, kelahiran Simo.
Joko Sasongko - pemain Arema Indonesia, kelahiran Teras
Gogon - Pelawak Srimulat berasal dari Pengging Banyudono
Rupa-rupa
Dikenal sebagai kota susu, Boyolali terdapat banyak patung-patung sapi di sejumlah sudut kota.
Boyolali memiliki slogan pembangunan Boyolali Tersenyum (Tertib, Elok, Rapi, Sehat, Nyaman untuk Masyarakat).
Boyolali juga dikenal sebagai pusat daging sapi lokal, dengan ampel sebagai tempat pemotongan hewan serta pusat produsen berbagai macam abon abon sapi