Selasa, 11 April 2017

Seputar Kunjungan Presiden Soekarno ke Desa Ngadagan tahun 1947


Sebuah desa yang tenang, dengan kondisi geografi berupa hamparan sawah dan perbukitan. Desa Ngandagan, terletak di sebelah barat laut Kabupaten Purworejo. Siapa yang menyangka bahwa Desa ini pada jaman kejayaanya sekitar tahun 1947, merupakan satu-satunya desa di Kecamatan Pituruh yang pernah dikunjungi oleh Presiden RI yang pertama Ir. Soekarno.








Mengapa Presiden Soekarno Berkunjung ke Desa Ngandagan ?
Dibawah kepimpinan seorang Glondhong (lurah) yang jujur, cerdas, bijaksana dan “mumpuni” bernama Sumotirto dengan nama kecil Mardikun (1946-1963) Desa Ngandagan menjadi sebuah desa percontohan yang sangat terkenal. Tidak heran para pejabat pemerintahan dengan mobilnya yang saat itu merupakan barang langka sering terlihat hilir mudik mengunjungi Desa itu. Dari sekedar rekreasi hingga yang bertujuan melakukan peninjauan. Belum lagi kunjungan murid-murid sekolah maupun masyarakat umum dari berbagai daerah. Bahkkan tidak heran ketika itu tahun 1960 seorang mahasiswa pernah melakukan penelitian (1961-1981) hasilnya : Land Reform in a Javanes strong>e Village Ngandagan : a case study on the role of Lurah in decision making prosess dan pada tahun 2009 kembali muncul dengan Judul Dari Desa ke Agenda Bangsa (Dari Ngandagan Jawa Tengah sampai Porto Alegre Brazil) siapa lagi penulisnya kalau bukan (Dr. HC) Ir. Gunawan Wiradi M. Soc. S.c yang cukup dikenal di IPB Bogor.

Hamparan sawah yang menghijau di Desa Ngandagan
Melalui cerita dari saksi hidup antara lain menyebutkan bahwa di bawah kepemimpinan Glondhong Sumotirto tidak ada warga desa yang malas (bhs jawa gembeng), tidak ada maling berani mengusik ketentraman desa. Yang membuat saya merinding “tidak ada rumput yang boleh tumbuh megotori jalan Desa Ngandagan”. Walaupun terkesan otoriter dan disiplin semua warga desa saat itu merasakan kemakmuran dan ketentraman.
Jadilah Desa Ngandagan menjadi Desa percontohan, sepanjang jalan yang bersih ditaburi kerikil, kiri-kanan jalan ditanami pohon Pepaya Unggul berbuah sangat lebat dan besar-besar. Dari kejauhan bukit yang menghijau ditanami pohon jeruk dan buahnya juga sangat lebat, dibawahnya terdapat kolam ikan dengan airnya yang sangat jernih. Dan di ujung bukit yang kelihatan “mecucu” karena terletak di ketinggian, terdapat tempat peristirahatan Gua Gunung Pencu. Saya hanya bisa membayangkan bagaimana pemikiran seorang lurah yang sangat maju di jaman itu, jika dikaitkan dengan konsep Desa Wisata yang tengah digembar-gemborkan, diwacanakan, namun belum bisa diwujudkan hingga sekarang. Ternyata berpuluh-puluh tahun yang silam telah dicontohkan dengan sempurna oleh seorang Glondhongbernama Sumotirto tanpa meminta bantuan dari pemerintah alias berdikari.
Mengapa warga Desa Ngandagan saat itu sangat menghormati dan mencintai kepemimpinan beliau ? Jawabanya adalah karena beliau memimpin melalui pendekatan kesejahteraan, kejujuran, disiplin dan pemberian sanksi yang keras. Sebagai contoh jika ada warga yang akan mantu atau khitanan, maka beliau akan meminta perangkat desa mendata siapa-siapa yang akan mantu atau khitanan. Setelah didata maka beliau sendiri yang akan menanggung biaya hajatan dan khitanan tersebut secara masal. Ini sekaligus menjadi hiburan tersendiri bagi warga di luar desa yang akan mengunjungi Desa Ngandagan. Yang terkenal hingga saat ini beliau pernah menikahkan 21 orang pasangan pengantin. Warga Desa Ngandagan benar-benar merasa diayomi sang pemimpin mereka.
Hasil pertanianpun tidak boleh dijual kepada tengkulak, tetapi harus dijual ke pasar. Jika ada warga yang masih tinggal di gunung, maka akan dibantu dipindahkan ke tanah desa dan dibantu membangun rumahnya atau istilah kerennya resettlement . Jika ada pencuri yang tertangkap di desanya maka pencuri itu akan beliau bina, menjadi orang baik dan bila perlu dicarikan jodoh dari warga Desa Ngadagan. Jika masih ada warganya yang nempur beras untuk makan, maka beliau tidak segan akan memberinya bantuan beras. Melalui Land reform kepemilikan tanah diupayakan supaya lebih adil antara lain dengan cara memberikan tanah garapan kepada rakyat miskin dan Tunakisma. Tanah desa tidak boleh dijual kepada orang dari luar desa (beberapa desa masih menerapkan aturan ini hingga sekarang). Karena akan terkait dengan sumbangan tenaga kerja pemilik tanah yang harus disumbangkan kepada kemajuan desa istilah orang kampung “kerigan/kerja bakti”.
Beliau ini juga terkenal sebagai penggemar seni dan juga mempunyai jiwa seni. Untuk menarik para pengunjung beliu juga tidak segan menanggap berbagai kesenian tradisional untuk menghibur warganya maupun warga dari luar Desa Ngandagan. Konon disamping rumah beliau yang ada kaki bukit terdapat rumah panggung khusus untuk menggelar/menanggap kesenian tradisional seperti wayang kulit, wayang orang dan kethoprak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar