Rabu, 12 April 2017

Saparan Bekakak di Gamping, Sleman, Yogyakarta



Desa Ambarketawang berada di kecamatan Gamping kabupaten Sleman penuh dengan lautan manusia yang terlibat atau sekedar menyaksikan upacara tradisional Saparan Bekakak. Sejak pagi ribuan warga Yogyakarta dan sejumlah turis baik lokal maupun mancanegara sudah berdatangan ke Desa Ambarketawang.
Upacara bekakak di gunung Gamping disebut juga Saparan, sebab pelaksanaan upacara ini jatuh atau berkaitan dengan bulan Sapar. Kata Sapar identik dengan ucapan Arab Syafar yang berarti bulan Arab yang kedua. Jadi Saparan ialah upacara selamatan yang diadakan disetiap bulan Sapar. Saparan Gamping disebut juga Saparan Bekakak. Bekakak adalah boneka sepasang pengantin yang terbuat dari beras ketan yang di dalamnya sengaja diisi cairan air gula. Ada maksud tertentu sehingga diisi air gula tersebut.
Satu cerita yang konon menjadi cikal bakal upacara tradisional ini adalah sebagai berikut. Desa Ambarketawang adalah sebuah wilayah perbukitan gamping atau batu kapur. Tersebutlah Ki Wirosuto, abdi dalem dari Sultan Hamengku Buwono I yang memimpin warga desa menambang batu kapur yang digunakan untuk membangun Keraton Yogyakarta. Namun, usaha penggalian batu kapur ini sering sekali diganggu oleh "penunggu" pegunungan kapur ini hingga menelan banyak korban jiwa. Di antaranya adalah Ki Wirosuto sendiri.
Penyelenggaraan upacara saparan Gamping bertujuan untuk menghormati arwah (roh halus) Kiai dan Nyai Wirosuto sekeluarga. Kiai Wirosuto adalah abdi dalem penangsong (hamba yang memayungi) Sri Sultan Hamengku Buwana I pembawa payung kebesaran setiap Sri Sultan Hamengku Buwana I berada dan tidak ikut pindah waktu dari keraton (pesanggrahan) Ambarketawang ke keraton yang baru. Bersama keluarganya ia tetap bertempat tinggal di Gamping. Dan dianggap sebagai cikal bakal penduduk Gamping. Gunung Gampinglah yang diyakini sebagai tempat wafatnya Ki Wirasuta
Lantaran banyak korban yang berjatuhan, Sri Sultan Hamengku Buwono I yang memerintah saat itu kemudian mencari petunjuk untuk menyelesaikan permasalahan ini. Sultan pun bertapa di kawasan Gunung Gamping. Dalam pertapaannya, Sultan didatangi penunggu tempat itu yang meminta sepasang pengantin dikorbankan setiap tahunnya demi kelancaran dan keselamatan kegiatan penggalian batu gamping.
Namun Sultan bukanlah pemimpin yang tega mengorbankan rakyatnya. Ia berpikiran lain, permintaan itu lantas ditanggapi melalui sebuah tipu muslihat. Yakni, dengan membuat sesaji berupa bekakak atau boneka pengantin untuk kemudian dikorbankan. Ternyata, tipuan itu berhasil. Dan, sejak saat itulah tradisi Saparan Bekakak menjadi sebuah rutinitas tahunan yang dilaksanakan di Desa Ambarketawang.
Upacara ini dimulai pada malam harinya (Kamis malam) dengan penyerahan bekakak dan kelengkapan lainnya kepada kepala desa di balai desa Ambarketawang. Malam itu juga dilanjutkan dengan acara tirakatan. Selanjutnya pada siang harinya di lapangan balai desa Ambarketawang disajikan berbagai kesenian tradisional persembahan dari warga. Kemudian dilanjutkan dengan arak-arakan menempuh jalan sepanjang kurang lebih 2 km menuju kawasan Gunung Gamping. Di tempat inilah oleh mereka diyakini sebagai tempat wafatnya Ki Wirosuto, dan di tempat ini pula mereka akan melakukan tradisi pengorbanan bekakak.
Upacara ini selalu dilaksanakan rutin setiap hari Jumat di bulan Sapar dalam penanggalan Jawa dan sudah berlangsung selama ratusan tahun. Kini upacara Saparan Bekakak sudah dikemas menjadi kegiatan budaya yang diharapkan bisa mengundang wisatawan. Desa Ambarketawang yang terdiri dari tigabelas dusun, dan masing-masing dusun mengirimkan perwakilannya guna memeriahkan acara tersebut. Seluruh warga termasuk kaum tua, muda, laki-laki dan perempuan terlibat aktif dalam penyelenggaraan acara ini. Mereka sadar bahwa budaya bisa tetap langgeng dan berlangsung terus hanya dengan mencintainya. Mereka menyiapkan segala sarana dan prasarana dengan suka rela. Menjadi suatu kebanggaan bila mereka bisa turut aktif dalam acara desa ini. Bangga dan rasa cinta yang mendalam warga desa membuat tradisi memperingati pengorbanan leluhur mereka, Ki Wirosuto, bertahan hingga saat ini.
Pelaksanaan upacara saparan gamping tersebut diperinci dalam beberapa tahap yaitu:
- tahap midodareni bekakak
- tahap kirab
- tahap ‘Nyembelih’ pengantin bekakak
- tahap sugengan Ageng.
Waktu penyelenggaraan upacara Saparan Gamping telah ditetapkan, ialah setiap hari Jumat dalam bulan sapar antara tanggal 10 – 20 pada pukul 14.00 (kirab temanten bekakak). Penyembelihan bekakak dilakukan pada pukul 16.00.
Tempat penyelenggaraan upacara disesuaikan dengan pelaksanaan upacara. Persiapan penyelenggaraan upacara dibagi dalam dua macam yaitu saparan bekakak dan sugengan ageng. Persiapan untuk saparan bekakak terutama pembuatan bekakak dari tepung ketan dan membuat juruh, yang memakan waktu ±8 jam. Pada saat pembuatan tepung diiringi gejong lesung atau kothekan yang memiliki bermacam-macam irama antara lain, kebogiro, thong-thongsot, dhengthek, wayangan, kutut manggung dan lain-lain.
Apabila penumbukan beras telah selesai, kemudian dilakukan pembuatan bekakak, gendruwo, kembang mayang, dan sajen-sajen, di satu tempat yaitu di rumah Bapak Roesman (panitia). Bentuk bekakak laki-laki dan perempuan dengan bentuk pengantin pria dan wanita pada umumnya dua pasang pengantin bekakak dengan sepasang bergaya Solo, dan sepasang bergaya Yogyakarta. Adapun pengantin laki-laki yang bergaya Solo dihias dengan ikat kepala ahestar berhiaskan bulu-bulu, leher berkalung selendang merah, dan kalung sungsun berkain bangun tulak, sabuk biru, memakai slepe. Mengenakan keris beruntaikan bunga melati, dan kelat bau. Sedangkan yang wanita memakai kemben berwarna biru, berkalung selendang merah dan kalung sungsun. Wajah dipaes, gelung diberi bunga-bunga dan mentul, di bahu diberi kelat bahu dan memakai subang.
Adapun pengantin laki-laki yang bergaya Yogyakarta, dihias dengan penutup kepala kuluk berwarna merah, berkalung selendang (sluier) biru dan kalung sungsun, sabuk biru dengan slepe, kain lereng, berkelat bahu dan bersumping, kemben hijau, kalung selendang biru (bangu tulak). Kekhususan yang tidak dapat dilanggar sampai saat ini, yaitu pelaku yang menyiapkan bahan mentahnya tetap para wanita, sedang yang mengerjakan pembuatan bekakak adalah para pria.
Sesaji upacara bekakak dibagi menjadi 3 kelompok. Dua kelompok untuk dua jali yang masing-masing diletakkan bersama-sama dengan pengantin bekakak. Satu kelompok lagi diletakkan di dalam jodhang sebagai rangkaian pelengkap sesaji upacara. Macam-macam sesajen yang diletakkan bersama-sama pengantin bekakak antara lain nasi gurih (wuduk) ditempatkan dalam pengaron kecil: nasi liwet ditempatkan dalam kendhil kecil beserta rangkaiannya daun dhadhap, daun turi, daun kara yang direbus, telur mentah dan sambal gepeng: tumpeng urubing dhamar, kelak kencana, pecel pitik, jangan menir, urip-uripan lele, rindang antep, ayam panggang, ayam lembaran, wedang kopi pahit, wedang kopi manis, jenewer, rokok/cerutu, rujak degan, rujak dheplok, arang-arang kemanis, padi, tebu, pedupaan, candu (impling), nangka sabrang, gecok mentah, ulam mripat, ulam jerohan, gereh mentah.
Sesaji itu ditempatkan dalam sudhi, gelas, kemudian ditaruh di atas jodhang antara lain sekul wajar (nasi ambeng) dengan lauk pauk: sambel goreng waluh, tumis buncis, rempeyek, tempe garing, bergedel, entho-entho, dan sebagainya, sekul galang lutut, sekul galang biasa, tempe rombyong yang ditaruh dalam cething bambu, tumpeng megana, sanggan (pisang raja setangkep), sirih sepelengkap, jenang-jenangan, rasulan (nasi gurih), ingkung ayam, kolak, apem, randha kemul, roti kaleng, jadah bakar, emping, klepon (golong enten-enten), tukon pasar, sekar konyoh, kemenyan, jlupak baru, ayam hidup, kelapa, sajen-sajen tadi ditempatkan dalam sudhi lalu semuanya diletakkan dalam lima ancak, dua ancak diikutsertakan dalam jali dibagikan kepada mereka yang membuat kembang mayang, bekakak dan yang menjadikan tepung (ngglepung) sementara itu disiapkan pula burung merpati dalam sangkar.
Midodareni Bekakak: Meskipun bekakak ini, berujud pengantin tiruan, tetapi menurut adat perlu juga memakai upacara midodareni. Kata midodareni bersal dari bahasa Jawa widodari yang berarti bidadari. Di sini terkandung makna bahwa pada malam midodareni para bidadari turun dari surga untuk memberi restu pada pengantin bekakak.
Tahap upacara ini berlangsung pada malam hari (kamis malam) dimulai ± jam 20.00. dua buah jali berisi pengantin bekakak dan sebuah jodhang berisi sesaji disertai sepasang suami istri gendruwo dan wewe, semua diberangkatkan ke balai desa Ambarketawang dengan arak-arakan. Adapun urutan barisan arakan dari tempat persiapan ke balai desa Ambarketawang sebagai berikut :
- barisan pembawa umbul-umbul
- barisan peleton pengawal dari Gamping tengah
- joli pengantin dan jodhang
- reyog dari Gamping kidul
- pengiring yang lain
Kemudian semua jali dan lain-lain diserahkan kepada Bapak kepala Desa Ambarketawang. Pada malam midodareni itu, diadakan malam tirakatan seperti hanya pengantin benar-benar, bertempat di pendhopo ataupun diadakan pertunjukan hiburan wayang kulit, uyon-uyon, reyog. Di rumah Ki Juru Permono diadakan pula tahlilan yang dilaksanakan oleh bapak-bapak dari kemusuk kemudian dilanjutkan dengan malam tirakatan yang diikuti oleh penduduk sekitar. Di pesanggrahan Ambarketawang juga diadakan tirakatan.
Kirab Pengantin Bekakak: Tahap ‘kirab’ pengantin bekakak ini merupakan pawai atau arak-arakan yang membawa jali pengantin bekakak ke tempat penyembelihan. Bersama dengan ini diarak pula rangkaian sesaji sugengan Ageng yang dibawa dari Patran ke pesanggrahan. Juga diarak ke balai desa terlebih dahulu.
Adapun urut-urutan arakan/ pawai upacara tradisional saparan bekakak sebagai berikut :
- reyog dan jathilan dari Patran
- sesaji sugengan Ageng
- barisan prajurit dari Gamping tengah membawa umbul-umbul memakai celana hitam kagok, berkain, baju lurik, destalan, seperti prajurit Daeng. Mereka membawa seruling, genderang dan mung-mung.
- prajurit putri membawa perisai, pedang, mengenakan baju berwarna-warni, celana panjang cinde dan berkain loreng.
- rombongan Demang dan kawan-kawan. Demang tersebut mengenakan kain, baju beskap hitam, memakai selempang kuning.
- jagabaya berkain, baju beskap hitam, memakai serempang merah.
- kaum atau rois, mengenakan kain berbaju surjan memakai serempang putih.
- pembawa tombak berbungkus cindhe beruntaikan bunga melati, mereka mengenakan celana hitam kagok, baju lurik, iket wulung, berselempang cindhe. Tiga pemudi mengenakan kain lurik ungu, baju hijau, memakai selempang merah, masing-masing membawa tiruan landak, gemak, merpati.
- barisan pembawa tombak, memakai celana merah, baju lurik merah, iket berwarna merah jingga.
- peserta bapak-bapak yang berkain berbaju surjan seragam warna merah, memakai sampur berwarna-warni.
- prajurit anak-anak, laki-laki perempuan membawa jemparing (panah).
- joli sesaji (jodhang) yang dibawa oleh petugas memakai seragam hitam kagok, baju merah iket biru.
- barisan selawatan
- joli bekakak Gunung Kliling.
- barisan yang membawa kembang mayang, cengkir, bendhe, tombak, dan luwuk semua dipayungi.
- barisan berkuda
- barisan pembawa panji-panji berwarna-warni yang mengenakan kain, baju surjan biru muda dan iket hitam.
- tiga pemudi membawa banyak dhalang, sawung galing, ardawalika
- tiga orang pemuda membawa padupaan dan bunga-bunga diikuti pembawa alat musik genderang, seruling dan mung-mung.
- prajurit Gamping Lor, diikuti prajurit, putri yang membawa panah, disusul lagi mereka yang membawa pedang panjang.
- jali sesaji (jodhang) yang dibawa oleh petugas memakai seragam celana hitam kagok, baju merah iket biru.
- jathilan dari patran
- prajurit Gamping Kidul, ada yang memakai topeng buron wana (landhak, kerbau, garuda) ada yang membawa tombak bertrisula, tombak biasa.
- reyog Gunung Kidul (seperti badhak merak)
- kemudian upacara tradisional itu berangkat dari balai desa menuju kearah bekas gung Ambarketawang, tempat penyembelihan pertama, kemudian ke tempat penyembelihan kedua yaitu di Gunung Kliling.
Nyembelih Pengantin Bekakak. Apabila arak-arakan telah tiba di Gunung Ambarketawang, maka joli pertama yang berisi sepasang pengantin bekakak, diusung ke arah mulut gua. Kemudian ulama (kaum) memberi syarat agar berhenti dan memanjat doa.
Selesai pembacaan doa, boneka ketan sepasang pengantin itu disembelih dan dipotong-potong dibagikan kepada para pengunjung demikian pula sesaji yang lain. Arak-arakan kemudia dilanjutkan menuju Gunung Kliling untuk mengadakan upacara penyembelihan pengantin bekakak yang kedua dan pembagian potongan bekakak yang kedua kepada para pengunjung.
Adapun jodhang yang berisi sajen selamatan dibagikan kepada petugas di tempat penyembelihan terakhir.
Sugengan Ageng. Sugengan Ageng yang dilaksanakan di Pesanggrahan Ambarketawang ini dipimpin oleh Ki Juru Permana pada hari tersebut. Pesanggrahan telah dihiasi janur (tarub) dan sekelilingnya diberi hiasan kain berwarna hijau dan kuning. Sesaji Sugengan Ageng yang dibawa dari patran, berujud jodhang, jali kembang mayang, kelapa gadhing (cengkir), air amerta, bokor tempat sibar-sibar, pusaka-pusaka, dan payung agung telah diatur dengan rapi di tempat masing-masing.
Pertama-tama pembakaran kemenyan, lalu dilanjutkan oleh Ki Juru Permana membuka upacara tadi dengan mengikrarkan adanya Sugengan Ageng tersebut, dilanjutkan pembacaan doa dalam bahasa Arab. Setelah selesai maka dilepaskannya sepasang burung merpati putih oleh Ki Juru permana. Pelepasan burung merpati ini disertai tepuk tangan para hadirin yang menyaksikannya. Kemudian dilakukan pembagian sesaji Sugengan Ageng yang berada dalam joli rahmat Allah kepada semua yang hadir, terutama makanan tawonan kegemaran Sultan Hamengku Buwana I. Dengan selesainya pembagian sesaji yang dilaksanakan, di pesanggrahan Ambarketawang. maka selesailah acara Saparan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar